Untuk memahami etika usaha yang Islami, terlebih dahulu harus dipahami peran
dan tugas manusia di dunia. Sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat Adz Dzaariyat ayat
56, yang artinya:
“Dan tidak Ku-Ciptakan jin dan manusia melainkan (semata mata) agar
mereka
beribadah (mengabdi) kepada-Ku”.
Oleh karena itu semua tindakan manusia di dunia ini adalah semata-mata
ibadah, semata-mata untuk mengabdi kepada Allah SWT. Dan sebagai abdi Allah SWT
maka manusia dalam semua tindakannya harus mengikuti perintah-Nya dan
menghindari larangan-Nya. Semua tindakan tersebut juga termasuk tindakan dalam
berusaha.
Disamping sebagai abdi dari Allah SWT, manusia juga diangkat oleh Allah SWT
untuk menjadi khalifah di muka bumi. Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat
Al Baqarah ayat 30:
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya
Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.”
Dan dalam surat Al A’raf ayat 128:
“Sesungguhnya bumi kepunyaan Allah, dipusakakan-Nya kepada yang
dikehendaki-Nya dari hamba-hamba-Nya.”
Islam adalah agama yang paling banyak mendorong umatnya untuk menguasai
perdagangan. Karena itu, Islam memberikan penghormatan yang tinggi kepada para
pedagang. Dalam Sebuah hadits, Nabi Muhammad Saw, menempatkan dan mensejajarkan
para pedagang bersama para Nabi, Syuhada dan Sholihin (Hadits riwayat Tarmizi).
Menurut Ibnu Khaldun, bidang ini memiliki kedudukan yang sangat penting dalam
membangun peradaban Islam.
Namun, masalah perdagangan (bisnis) kurang mendapat tempat dalam gerakan
peradaban Islam. Padahal sektor ini sangat penting untuk diaktualisasikan kaum
muslimin menuju kejayaan Islam di masa depan. Tema perdagangan ini perlu
diangkat ke permukaan mengingat kondisi obyektif kaum muslimin di berbagai
belahan dunia sangat tertinggal di bidang perdagangan.
Dalam berbagai hadits Nabi Muhammad Saw sering menekankan pentingnya
perdagangan. Di antaranya riwayat dari Mu’adz bin Jabal, bahwa Nabi bersabda: “Sesungguhnya
sebaik-baik usaha adalah usaha perdagangan (H.R.Baihaqi dan dikeluarkan
oleh As-Ashbahani). Hadits ini dengan tegas menyebutkan bahwa profesi terbaik
menurut Nabi Muhammad adalah perdagangan.
Namun sangat disayangkan, kaum muslimin tidak merealisasikan hadits ini
dalam realitas kehidupan dan membiarkan perdagangan dikuasai orang lain,
akibatnya ekonomi umat Islam kalah jauh apabila dibandingkan dengan ekonomi
bangsa-bangsa yang lainnya. Keadaan seperti ini juga pernah terjadi di masa
Umar bin Khattab, yaitu ketika para sahabat mendapat harta ghanimah yang
melimpah melalui ekspansi wilayah Islam ke Persia, Palestina dan negara-negara
tetangga, karena itu para pejabat dan panglima tentera Islam mulai meninggalkan
perdagangan. Umar mengingatkan mereka, “Saya lihat orang asing mulai banyak
menguasai perdagangan, sementara kalian mulai meninggalkannya (karena telah
menjadi pejabat di daerah dan mendapat harta ghanimah), Jangan kalian
tinggalkan perdagangan, nanti laki-laki kamu tergantung dengan laki-laki mereka
dan wanita kamu tergantung dengan wanita mereka”.
Dari pernyataan Umar di atas, dapat dijelaskan bahwa jika perdagangan
dikuasai umat lain (bangsa lain), dikhawatirkan umat Islam akan tergantung
kepada bangsa tersebut. Apa yang dikhawatirkan Umar tersebut, kini telah
terjadi di negara-negara Muslim, termasuk di Indonesia, dimana umat Islam
sangat tergantung pada bangsa-bangsa lain, bahkan ketergantungan itu merasuk
kepada kebijakan ekonomi dan politik negara muslim, merasuk ke aspek budaya,
ilmu pengetahuan, bahkan mengganggu aqidah dan akhlak umat Islam.
Betapa pentingnya umat Islam dalam menguasai perdagangan, sehingga Nabi
Muhammad Saw mewajibkan umat Islam untuk menguasai perdagangan. Dalam sebuah
hadits, Nabi Muhammad Saw mengatakan, “Hendaklah kamu berdagang, karena di
dalamnya terdapat 90 % pintu rezeki (H.R.Ahmad).
A. Perdagangan dalam Al-quran
Perdagangan secara umum berarti kegiatan jual beli barang dan/atau jasa yang
dilakukan secara terus menerus dengan tujuan pengalihan hak atas barang
dan/atau jasa dengan disertai imbalan atau kompensasi (SK MENPERINDAG No.
23/MPP/Kep/1/1998).
Dalam Al-quran, perdagangan dijelaskan dalam tiga bentuk, yaitu tijarah
(perdagangan), bay’ (menjual) dan Syira’ (membeli). Selain
istilah tersebut masih banyak lagi istilah-istilah lain yang berkaitan dengan
perdagangan, seperti dayn, amwal, rizq, syirkah, dharb, dan sejumlah
perintah melakukan perdagangan global (QS. Al-Jum’ah : 9).
Kata tijarah adalah mashdar dari kata kerja yang berarti menjual
dan membeli. Kata tijarah ini disebut sebanyak 8 kali dalam Alquran
yang tersebar dalam tujuh surat, yaitu surat Al-Baqarah :16 dan 282, An-Nisaa’
: 29, At-Taubah : 24, An-Nur :37, Fathir : 29 , Shaf : 10 dan Al-Jum’ah :11.
Pada surat Al-Baqarah disebut dua kali, sedangkan pada surat lainnya hanya
disebut masing-masing satu kali.
Sedangkan kata ba’a (menjual) disebut sebanyak 4 kali dalam
Al-quran, yaitu Surat Al-Baqarah :254 dan 275, Surat Ibrahim :31 dan Surat
Al-Jum’ah :9.
Selanjutnya istilah lain dari perdagangan yang juga terdapat dalam Al-quran
adalah As-Syira. Kata ini terdapat dalam 25 ayat. Dua ayat di
antaranya berkonotasi perdagangan dalam konteks bisnis yang sebenarnya (surat
Yusuf ayat 21 dan 22), yang menjelaskan tentang kisah Nabi Yusuf yang dijual
oleh orang yang menemukannya.
Dalam surat al-Jum’ah ayat 10 Allah berfirman, ” Apabila shalat sudah
ditunaikan maka bertebaranlah di muka bumi dan carilah karunia Allah serta
banyak-banyaklah mengingat Allah agar kalian menjadi orang yang beruntung..
Apabila ayat ini kita perhatikan secara seksama, ada dua hal penting yang
harus kita cermati, yaitu fantasyiruu fi al-ard (bertebaranlah di muka
bumi) dan wabtaghu min fadl Allah (carilah rezeki Allah).
Makna fantasyiruu adalah perintah Allah agar umat Islam segera
bertebaran di muka bumi untuk melakukan aktivitas bisnis setelah shalat fardlu
selesai ditunaikan. Allah SWT tidak membatasi manusia dalam berusaha, hanya di
kampung, kecamatan, kabupaten, provinsi, atau Indonesia saja. Allah
memerintahkan kita untuk go global atau fi al-ard. Ini
artinya kita harus menembus seluruh penjuru dunia.
Ketika perintah bertebaran ke pasar global bersatu dengan perintah
berdagang, maka menjadi keharusan bagi kita membawa barang, jasa dan komoditas
ekspor lainnya serta bersaing dengan pemain-pemain global lainnya. Menurut
kaidah marketing yang sangat sederhana tidak mungkin kita bisa
bersaing sebelum memiliki daya saing di 4 P: Products, Price, Promotion,
dan Placement atau delivery.
Dalam Surat Al-Quraisy Allah melukiskan satu contoh dari kaum Quraisy yang
telah mampu menjadi pemain global dengan segala keterbatasan sumber daya alam
di negeri mereka. Allah berfirman, “Karena kebiasaan orang-orang Quraisy.
(Yaitu) kebiasaan melakukan perjalanan dagang pada musim dingin dan musim
panas.”
Para ahli tafsir baik klasik, seperti al-Thabari, Ibn Katsir, Zamakhsyari,
maupun kontemporer seperti, al-Maraghi, az-Zuhaily, dan Sayyid Qutb, sepakat
bahwa perjalanan dagang musim dingin dilakukan ke utara seperti Syria, Turki,
Bulgaria, Yunani, dan sebagian Eropa Timur, sementara perjalanan musim panas
dilakukan ke selatan seputar Yaman, Oman, atau bekerja sama dengan para
pedagang Cina dan India yang singgah di pelabuhan internasional Aden.
B. Karakteristik Perdagangan Syari’ah
Prinsip dasar yang telah ditetapkan Islam mengenai perdagangan atau niaga
adalah tolok ukur dari kejujuran, kepercayaan dan ketulusan. Dalam perdagangan
nilai timbangan dan ukuran yang tepat dan standar benar-benar harus
diperhatikan. Seperti yang telah dijelaskan dalam surat Al Muthoffifin ayat 2-7
:
“Kecelakaan besarlah bagi orang yang curang, yaitu orang yang apabila
menerima takaran dari orang lain, mereka minta dipenuhi. Dan apabila mereka
menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi.tidaklah orang-orang
itu menyangka, bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitkan pada suatu hari yang
besar, yaitu hari ketika manusia berdiri menghadap Tuhan Semesta Alam?
Sekali-kali jangan curang, karena sesungguhnya kitab orang yang
durhaka,tersimpan dalam Sijjin.”
Selain itu, Islam tidak hanya menekankan agar memberikan timbangan dan
ukuran yang penuh, tetapi juga dalam menimbulkan itikad baik dalam transaksi
bisnis. Hasil beberapa pengamatan yang dilakukan menjelaskan bahwa hubungan
buruk yang timbul dalam bisnis dikarenakan kedua belah pihak yang tidak dapat
menentukan kejelasan secara tertulis syarat bisnis mereka. Untuk membina
hubungan baik dalam berbisnis, semua perjanjian harus dinyatakan secara
tertulis dengan menyantumkan syarat-syaratnya, karena “yang demikian itu lebih
adil di sisi Alloh, dan lebih menguatkan persaksian, dan lebih dapat mencegah
timbulnya keragu-raguan.” (Al Baqoroh : 282-283)
Disamping itu, ada beberapa hal yang terkait dengan perdagangan syariah,
yaitu :
1. Penjual
berusaha memberikan pelayanan yang terbaik kepada konsumen, sehingga konsumen
akan merasa telah berbelanja sesuai syariah Islam, dimana konsumen tidak
membeli barang sesuai keinginan tetapi menurut kebutuhan.
2. Penjual
menjalankan bisnisnya secara jujur yakni kualitas barang yang dijual sesuai
dengan harganya, dan pembeli tidak dirangsang untuk membeli barang sebanyak-banyaknya.
3. Hal
yang paling baik bukan masalah harga yang diatur sesuai mekanisme pasar, namun
status kehalalan barang yang dijual adalah lebih utama. Dengan konsep
perdagangan syariah, konsumen yang sebagian besar masyarakat awam akan merasa
terlindungi dari pembelian barang dengan tidak sengaja yang mengandung unsur
haram yang terkandung di dalamnya. Barang-barang yang dijual dengan perdagangan
syariah juga diperoleh dengan cara tidak melanggar hukum diantaranya bukan
barang selundupan, memiliki izin SNI dan sebagian lagi memiliki label halal.
4. Sesungguhnya
barang dan komoditi yang dijual haruslah berlaku pada pasar terbuka, sehingga
pembeli telah mengetahui keadaan pasar sebelum melakukan pembelian secara
besar-besaran. Penjual tidak diperkenankan mengambil keuntungan dari
ketidaktahuan pembeli akan keadaan pasar dan harga yang berlaku.
C. Perdagangan Yang Dilarang
- Talqi – Jalab
Talqi-jalab adalah suatu kegiatan yang umum dilakukan oleh orang-orang
Madinah, yaitu manakala para petani membawa hasil ke kota, lalu menjualnya
kepada orang-orang di kota kemudian orang kota tersebut menjual hasil panen
tersebut, dengan harga yang mereka tetapkan sendiri. Rosululloh tidak menyukai
cara perdagangan seperti ini, karena beliau menganggap perbuatan tersebut mencurangi
seseorang.
- Perdagangan melalui Al-Hadir-Libad
Ada beberapa orang bekerja sebagai agen-agen penjualan hasil panen dan semua
hasil panen dijual melalui mereka. Mereka memperoleh keuntungan baik dari
penjual maupun dari pembeli dan seringkali mencabut keuntungan sebenarnya yang
harus diterima petani dan kepada para pembeli tidak diberi harga yang benar dan
wajar. Rosululloh melarang bentuk perdagangan dengan menarik keuntungan dari
penjual dan pembeli.
- Perdagangan dengan cara Munabazah
Dalam perdagangan secara munabazah, seseorang menjajakan pakaian yang dia
miliki untuk dijual kepada orang lain dan penjualan tersebut menjadi sah,
meskipun orang tersebut tidak memegang atau melihat barang tersebut. Berarti
bahwa penjual langsung melemparkan barang kepada pembeli dan penjualan itu sah.
Pembeli tidak ada kesempatan untuk memeriksa pakaian tersebut atau harganya.
Ada kemungkinan penipuan atau kecurangan atau penggmbaran yang keliru dalam
bentuk perdagangan seperti ini, sehingga Rosululloh melarang perdagangan dengan
cara munabazah.
- Perdagangan dengan cara Mulamasah
Dalam perdangangan secara mulamasah, seseorang menjual sebuah pakaian dengan
boleh memegang tapi tanpa perlu membuka atau memeriksanya. Hal ini juga
dilarang Rosululloh karena keburukannya sama seperti munabazah.
- Perdagangan dengan cara Habal-Al-Habala
Bentuk perdagangan ini sangat umum di negara Arab pada waktu itu. Dalam
perdagangan ini, seseorang menjual seekor unta betina dengan berjanji membayar
apabila unta itu melahirkan seekor anak unta jantan atau betina. Cara
perdagangan seperti inipun dilarang oleh Rosululloh karena mengandung unsur
perkiraan atau spekulasi.
- Perdagangan dengan cara Al-Hasat
Dalam bentuk perdagangan seperti ini, penjual akan menyampaikan kepada
pembeli bahwa apabila pembeli melemparkan pecahan-pecahan batu kepada penjual,
maka penjualan akan dianggap sah. Cara seperti ini juga diharamkan oleh
Rosululloh karena sama buruknya dengan perdagangan secara munabazah dan
mulamasah.
- Perdagangan dengan cara muzabanah
Dalam bentuk perdagangan ini, buah-buahan ketika masih di atas pohon sudah
ditaksir dan dijual sebagai alat penukar untuk memeperoleh kurma dan anggur
kering, atas sederhananya menjual buah-buahan segar untuk memperoleh
buah-buahan kering. Rosululloh melarang cara seperti ini karena didasari atas
perkiraan dan dapat merugikan satu pihak jika perkiraan ternyata salah
- Perdagangan dengan cara Muhaqolah
Dalam sistem muhaqolah ini, panen yang belum dituai dijual untuk memperoleh
hasil panen yang kering. Rosululloh melarang cara perdagangan seperti ini
sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abdullah Ibn Umar, Abu Said al Khudri dan
Said Ibn Mussayyib. Bentuk ini sama dengan bentuk muzabanah dengan semua
kemudharatannya.
- Perdagangan tanpa hak pemilikian
Perdagangan barang-barang khususnya yang tidak tahan lama, tanpa perolehan
hak milik juga dilarang oleh Rosululloh karena mengandung unsur keraguan dan
penipuan. Diriwayatkan oleh Ibn Umar bahwa Rosululloh bersabda: “Siapapun yang
membeli gandum tidak berhak menjualnya sebelum memperoleh hak miliknya.”
- Perdagangan dengan cara Sarf
Perdagangan dengan cara sarf berarti menggunakan transaksi di mana emas dan
perak dipakai sebagai alat tukar untuk memperoleh emas dan perak. Rosululloh
bersabda bahwa pertukaran emas dengan emas merupakan riba kecuali dari tangan
ke tangan, kurma dengan kurma adalah riba kecuali dari tangan ke tangan, dan
garam dengan garam adalah riba kecuali dari tangan ke tangan.
- Perdagangan dengan cara Al-Ghoror
Perdagangan yang dilakukan dengan cara melakukan penipuan terhadap pihak
lan.
- Misrot
Misrot adalah hewan yang mempunyai susu, tapi susunya tidak diperas.
Kebanyakan orang apabila berkeinginan menjual binatang ini terlebih dahulu
diperah selama beberapa hari untuk menipu pembeli. Ini adalah salah satu cara
dimana pembeli binatang merasa ditipu dan diminta untuk membayar dengan harga
yang lebih mahal
- Najsh
Sederhananya, najsh itu bermakna terjadinya sesuatu kenaikan harga karena
seseorang telah mendengar bahwa harga barang tersebut telah naik, lalu
membelinya tetapi tidak karena ingin membelinya melainkan karena ingin
menjualnya kembali dengan menetapkan harga yang lebih tinggi, atau berminat
terhadap barang yang dijual dengan tujuan untuk menipu orang lain.
- Penjualan dengan sumpah
Penjual menjual barangnya (dalam harga tinggi) dengan melakukan sumpah
tentang tingginya kualitas barang tersebut.
- Pemalsuan
Rosululloh melarang pemalsuan barang-barang yang akan dijual sebagaiman yang
diriwayatkan oleh Imam Bukhori.
- Perdagangan dengan cara menyembunyikan
Cara seperti ini yaitu menyembunyikan gandum dan barang-barang lainnya untuk
menaikkan harga dengan sengaja.
- Monopoli
Monopoli akan muncul manakala pusat kontrol pasokan (supply) barang
atau jasa dipegang oleh satu orang atau sekelompok orang.dia yang mengontrol
pasokan barang atau jasa dan menetapkan harga yang menguntungkan baginya,
tetapi keuntungannya tidak bermanfaat bagi masyarakat.
D. Keadaan Perdagangan Saat Ini
Contoh yang paling dekat dengan kemampuan dagang yang dilukiskan Al-Qur’an
saat ini mungkin terdapat pada Singapura atau Hongkong, negeri yang miskin
sumberdaya alam tetapi mampu menggerakkan dan mengontrol alur ekspor di
regional Asia Tenggara dan Pasifik. Bagaimana dengan Indonesia, yang luas salah
satu provinsinya (Riau) 50 kali Singapura, dengan potensi ekspor dan sumberdaya
alam yang ribuan kali lipat. Mungkin kita harus becermin pada Al-Qur’an yang
selama ini kita tinggalkan untuk urusan bisnis dan ekonomi.
Meskipun Al-Qur’an cukup banyak membicarakan perdagangan bahkan dengan tegas
memerintahkannya, dan meskipun negeri-negeri muslim memiliki kekayaan alam yang
besar, namun ekonomi umat Islam jauh tertinggal dibanding negara-negara non
Muslim. Banyak faktor yang membuat umat Islam tertinggal dari bangsa lain,
antara lain, lemahnya kerjasama perdagangan sesama negeri muslim. Menurut
catatan OKI sebagaimana yang terdapat dalam buku “Menuju tata baru Ekonomi
Islam, kegiatan perdagangan sesama negeri muslim hanya 12 % dari jumlah
perdagangan negara-negara Islam”.
Fenomena lemahnya kerja sama perdagangan itu terlihat pada data-data berikut
:
1. Lebanon
dan Turki mengekspor mentega ke Belgia, United Kingdom dan negara-negara Eropa
Barat lainnya. Semenentara Iran, Malayisa, Pakistan dan Syiria mengimpor
mentega dari Eropa Barat.
2. Aljazair
mengekspor gas asli ke Perancis, sedangkan Perancis mengekspornya ke Magribi
3. Mesir
adalah pengekspor kain tela yang ke 10 terbesar di dunia, tetapi Aljazair,
Indonesia, dan Iran mendapatkan kain itu (impor) dari Eropa Barat.
4. Aljazair,
Mesir dan Malaysia mengimpor tembakau dari Columbia, Greece, India, Philipine
dan Amerika Serikat. Sementara Turki dan Indonesia adalah mengekspor utama
tembakau ke Amerika dan Eropa.
Fakta lain juga menunjukkan bahwa produk Indonesia yang dibutuhkan negara
muslim di Timur Tengah, harus melalui Singapura. Kounsekuensinya yang mendapat
keuntungan besar adalah Singapura, karena ia membeli dengan harga murah dan
menjual ke Timur Tengah dengan harga mahal. Dan negara kita sering kali cukup
puas dengan kemampuan ekspor sekalipun mendapatkan keuntungan (margin) yang
sedikit. Hal ini menunjukkan kebodohan kita dalam perdagangann internasional.
Hal ini tentu tidak sesuai dengan Nabi Muhammad yang telah meneladankan sikap
fathanah (cerdas) dan komunikatif (tabligh) dalam perdagangan.
Dengan berbagai kelemahan dan fakta yang ada di atas, maka diperlukan
penerapan beberapa langkah ataupun strategi yang baik dan sesuai/tidak jauh
dari Al-Qur’an. Dalam melaksanakan strategi-strategi tersebut, maka harus
didasarkan pada konsep berusaha yang sesuai syariat Islam. Konsep-konsep dasar
dalam berusaha tersebut antara lain :
1. Berusaha
hanya untuk mengambil yang halal dan baik (thoyib)
Allah SWT telah memerintahkan kepada seluruh manusia jadi bukan hanya untuk
orang yang beriman dan muslim saja untuk hanya mengambil segala sesuatu yang
halal dan baik (thoyib). Dan untuk tidak mengikuti langkah-langkah
syaitan dengan mengambil yang tidak halal dan tidak baik.
“Hai sekalian manusia, makanlah (ambillah) yang halal lagi baik dari apa
yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan,
karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu” (Q.S. Al
Baqarah :168)
Oleh karena itu, dalam berusaha Islam mengharuskan manusia untuk hanya
mengambil hasil yang halal. Yang meliputi halal dari segi materi, halal dari
cara perolehannya, serta juga harus halal dalam cara pemanfaatan atau
penggunaannya. Banyak manusia yang memperdebatkan mengenai ketentuan halal ini.
Padahal bagi umat Islam acuannya sudah jelas, yaitu sesuai dengan sabda
Rasulullaah SAW:
Sesungguhnya perkara halal itu jelas dan perkara haram itupun jelas, dan
diantara keduanya terdapat perkara-perkara yang syubhat (meragukan) yang tidak
diketahui oleh orang banyak. Oleh karena itu, barangsiapa menjaga diri dari
perkara syubhat, ia telah terbebas (dari kecaman) untuk agamanya dan
kehormatannya . . .. . .Ingat! Sesungguhnya didalam tubuh itu ada sebuah
gumpalan, apabila ia baik, maka baik pula seluruh tubuh, dan jika ia rusak,
maka rusak pula seluruh tubuh, tidak lain ia adalah hati” (Hadits)
Jadi sesungguhnya yang halal dan yang haram itu jelas. Dan bila masih
diragukan maka sebenarnya ukurannya berkaitan erat dengan hati manusia itu
sendiri, apabila hatinya jernih maka segala yang halal akan menjadi jelas. Dan
sesungguhnya segala sesuatu yang tidak halal termasuk yang syubhat tidak boleh
menjadi obyek usaha dan karenanya tidak mungkin menjadi bagian dari hasil
usaha.
1. Memperoleh
hasil usaha hanya melalui perniagaan yang berlaku secara ridho sama ridho
karena saling memberi manfaat
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku
secara ridho sama ridho di antara kamu”. (Q.S. An Nisaa:29)
Kemudian Allah SWT memerintahkan kepada orang yang beriman agar bila ingin
memperoleh keuntungan dari sesamanya hanya boleh dengan jalan perniagaan (baik
perniagaan barang atau jasa) yang berlaku secara ridho sama ridho. Untuk
penjelasannya dapat dikaji hadits berikut ini:
Nabi Muhammad saw. pernah mempekerjakan saudara Bani `Adiy Al Anshariy
untuk memungut hasil Khaibar. Maka ia datang dengan membawa kurma Janib (kurma
yang paling bagus mutunya). Nabi Muhammad SAW bertanya kepadanya: Apakah semua
kurma Khaibar demikian ini? Orang itu menjawab: Tidak, demi Allah, wahai Nabi
Utusan Allah. Saya membelinya satu sha` dengan dua sha` kurma Khaibar (sebagai
bayarannya). Nabi Muhammad SAW bersabda: Janganlah berbuat begitu, tetapi
tukarkan dengan jumlah yang sama, atau juallah ini (kurma Khaibar) lalu belilah
kurma yang baik dengan hasil penjualan (kurma Khaibar) tadi.
Intisari dari pelajaran yang diberikan oleh Rasulullah SAW adalah bahwa
harga dalam setiap perniagaan harus mengikuti penilaian (valuasi atau
mekanisme) pasar. Karena penilaian yang dilakukan (oleh masyarakat) melalui
mekanisme pasar akan memberikan penilaian yang adil. Tentunya selama pasar
berjalan dengan wajar. Sehingga kaidah ‘ridho sama ridho’ yang disyaratkan
dapat dicapai. Dan untuk memfasilitasi perniagaan melalui mekanisme pasar
tersebut diperlukan prasarana alat tukar nilai yang disebut sebagai uang.
1. Fungsi
Uang yang utama adalah sebagai alat tukar nilai di dalam transaksi
Dalam syariah Islam, uang semata-mata berfungsi sebagai alat tukar nilai.
Oleh karena itu salah seorang pemikir Islam, Imam Ghazali, menyatakan bahwa “Uang
bagaikan cermin, ia tidak mempunyai warna namun dapat merefleksikan semua warna.”
Maksudnya uang itu sendiri seharusnya tidak menjadi obyek (perniagaan)
melainkan semata-mata untuk merefleksikan nilai dari obyek. Dan bagaikan cermin
yang baik, uang harus dapat merefleksikan nilai dari obyek (perniagaan) secara
jernih dan lengkap. Oleh karena itu pada zaman Rasulullah SAW uang dibuat dari
logam mulia (emas atau perak) dan mempunyai spesifikasi (mutu dan berat) yang
tertentu.
Pemerintahan Rasulullah SAW sendiri tidak menerbitkan uang. Karena
pemerintahan Rasulullah SAW tidak perlu menerbitkan uang sendiri selama uang
itu mempunyai nilai yang dapat diterima di semua pasar yang terkait. Sehingga
pemikir Islam lainnya, Ibnu Khaldun menyatakan “Kekayaan suatu negara tidak
ditentukan oleh banyaknya uang di negara tersebut, tetapi ditentukan oleh
tingkat produksi di negara tersebut dan kemampuan untuk memperoleh neraca
perdagangan yang positif.”
Karena dalam syariah Islam uang adalah alat tukar nilai, maka uang
diperlukan untuk memperlancar perniagaan. Artinya peran uang sejalan dengan
pemakaian uang itu dalam perniagaan. Sehingga bila uang disimpan dan tidak
dipakai dalam perniagaan maka masyarakat akan merugi karena perniagaan akan
mengalami hambatan. Karena pada zaman Rasulullah SAW uang dibuat dari emas dan
perak, maka dalam surat At Taubah ayat 34 dinyatakan:
“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya
di jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka (bahwa mereka akan mendapat
siksa yang pedih).”
1. Berlaku
adil dengan menghindari keraguan yang dapat merugikan dan menghindari resiko
yang melebihi kemampuan
Kemudian dalam melakukan perniagaan, Islam mengharuskan untuk berbuat adil
tanpa memandang bulu, termasuk kepada pihak yang tidak disukai. Karena orang
yang adil akan lebih dekat dengan taqwa.
“Hai orang-orang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu
menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah
sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak
adil. Berlaku adillah karena adil itu lebih dekat dengan taqwa” (Q.S. Al
Ma’idah:8)
Bahkan Islam mengharuskan untuk berlaku adil dan berbuat kebajikan, dimana
berlaku adil harus didahulukan dari berbuat kebajikan.
“Sesungguhnya Allah menyuruh berlaku adil dan berbuat kebajikan”
(Q.S. An Nahl:90)
Dalam perniagaan, persyaratan adil yang paling mendasar adalah dalam
menentukan mutu dan ukuran (takaran maupun timbangan).
“..Maka sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil..”
(Q.S. Al An’am:152)
“Dan Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca (keadilan)
supaya kamu jangan melampaui batas neraca itu. Dan tegakkanlah timbangan itu
dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu” (Q.A. Ar Rahman:7-9)
Berlaku adil akan dekat dengan taqwa, karena itu berlaku tidak adil akan
membuat seseorang tertipu pada kehidupan dunia. Karena itu dalam perniagaan,
Islam melarang untuk menipu bahkan ‘sekedar’ membawa suatu kondisi yang dapat
menimbulkan keraguan yang dapat menyesatkan atau gharar. Contoh yang diajarkan
Rasulullah SAW adalah sesuatu (ikan) dalam air, karena pandangan pada segala
sesuatu yang berada dalam air akan terbias dan dapat menimbulkan keraguan yang
menipu.
Wahai manusia, sesungguhnya janji Allah benar maka janganlah sekali-kali
kamu tertipu kehidupan dunia dan janganlah sekali-kali tertipu tentang Allah
(karena) seorang penipu (al gharuur). (Q.S. Al Faatir: 5)
“Janganlah kalian membeli ikan di dalam air (kolam/laut) karena hal itu
adalah gharar”. (HR Ahmad)
Sebaliknya atas harta milik sendiri dilarang untuk mengambil resiko yang
melebihi kemampuan yang wajar untuk mengatasi resiko tersebut. Walaupun resiko
tersebut mempunyai probabilita untuk membawa manfaat, namun bila probabilitas
untuk membawa kerugian lebih besar dari kemampuan menanggung kerugian tersebut
maka tindakan usaha tersebut adalah sama dengan mengeluarkan yang lebih dari
keperluan sehingga harus difikirkan dengan matang.
Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan maysir, (maka) katakanlah
pada keduanya terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, dan dosa
keduanya lebih besar dari manfaat keduanya, Dan mereka bertanya kepadamu apa
yang mereka nafkahkan (keluarkan), maka katakanlah yang lebih dari keperluan,
demikianlah Allah menerangkan kepadamu ayat-ayat-Nya supaya kamu berfikir.(Q.S.
Al Baqarah:219)
1. Menjalankan
usaha harus memenuhi semua ikatan yang telah disepakati
Sebagai abdi Allah SWT menjalankan tugas sebagai khalifah di muka bumi, atas
nama Allah SWT, dalam menjalankan usaha Islam mengharuskan dipenuhinya semua
ikatan yang telah disepakati. Perubahan ikatan akibat perubahan kondisi harus
dilaksanakan secara ridho sama ridho, disepakati oleh semua fihak terkait.
“Hai orang-orang beriman, penuhilah aqad-aqad itu.” (Q.S. Al
Ma’idah:1)
“Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak maupun
yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang
benar..” (Q.S. Al A’raf : 33)
“Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan
janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah(mu) itu sesudah meneguhkannya, sedang
kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu..” (Q.S. An Nahl:91)
1. Manusia
harus bekerjasama untuk memenuhi kebutuhan
Manusia memang ditakdirkan untuk diciptakan dengan perbedaan, dimana
sebagian diantaranya diberi kelebihan dibandingkan sebagian yang lain, dengan
tujuan agar manusia dapat bekerjasama untuk mencapai hasil yang lebih baik.
“Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan
dunia, dan Kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain
beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain.
Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.” (Q.S. Az
Zukhruf :32)
Pakar ekonomi Islami, Ibnu Khaldun menyatakan bahwa “Setiap individu tidak
dapat dengan sendirinya memperoleh kebutuhan hidupnya. Semua manusia harus
bekerjasama untuk memperoleh kebutuhan hidup dalam peradabannya.” Lebih lanjut
Ibnu Khaldun juga menerangkan akan hasil kerjasama yang sekarang kita sebut
synergy, sebagai berikut: “Hasil kerjasama sejumlah manusia dapat menutupi
kebutuhan beberapa kali lipat dari jumlah mereka sendiri.”
PENUTUP
Rasulullah merupakan sosok teladan yang patut kita jadikan contoh,
keberhasilan beliau dalam mengembangkan perekonomian umat telah terbukti. Hanya
dalam waktu setahun setelah hijrah ke madinah, beliau berhasil membangun
perekonomian yang sangat kuat. Hanya dalam waktu setahun umat Islam berhasil
menguasai ekonomi yang selama ini dipegang oleh orang-orang Yahudi dan umat
lainnya.
Rahasia kesuksesan tersebut adalah ternyata Rasulullah memprioritaskan
pasar. Yang pertama kali dilirik oleh Rasulullah adalah pasar. Beliau membangun
jalan dari masjid sampai ke pelosok-pelosok desa, sehingga masyarakat mempunyai
akses pemasaran.
Selain itu Nabi Muhammad telah mempraktekan usaha perdagangan sejak berusia
yang relatif muda, yaitu 12 tahun. Dan ketika berusia 17 tahun ia telah
memimpin sebuah ekspedisi perdagangan ke luar negeri. Profesi inilah yang
ditekuninya sampai beliau diangkat menjadi Rasul di usia yang ke 40. Afzalur
Rahman dalam buku Muhammad A Trader menyebutkan bahwa reputasinya
dalam dunia bisnis demikian bagus, sehingga beliau dikenal luas di Yaman,
Syiria, Yordania, Iraq, Basrah dan kota-kota perdagangan lainnya di jazirah
Arab. Dalam konteks profesinya sebagai pedagang inilah ia dijuluki gelaran
mulia, Al-Amin Afzalur Rahman juga mencatat dalam ekspedisi
perdagangannya, bahwa Muhammad Saw telah mengharungi 17 negara ketika itu,
sebuah aktivitas perdagangan yang luar biasa.
Semangat inilah seharusnya yang dibangun dan dikembangkan oleh kaum muslimin
saat ini agar peradaban kaum muslimin bisa bangkit kembali di jagad ini melalui
kejayaan ekonomi dan perdagangan.
Dengan mengambil contoh kisah diatas, umat Islam perlu memperhatikan
perekonomian. Dahulu umat Islam pernah berjaya di bidang ekonomi, namun kini
jauh tertinggal dibandingkan umat-umat yang lain. Karena itu, umat Islam harus
mengejar ketinggalan tersebut dengan cara membangun ekonominya. Dan sektor perniagaanlah
yang agaknya sesuai untuk lebih diperhatikan dalam membangun perekonomian.
Negara-negara Islam memiliki 70% cadangan minyak dunia dan menguasai 30%
sumber gas asli dunia. Negara-negara Islam juga merupakan pemasok dan penyuplay
42% permintaan petrolium (minyak) dunia. Data-data tersebut menunjukkan bahwa
negeri-negeri muslim memiliki potrensi ekonomi yang cukup besar dan strategis.
DAFTAR PUSTAKA
Agustianto. Sekjen Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia (IAEI) dan Mahasiswa
Program Doktor Ekonomi Islam UIN Jakarta. (Artikel)
Mannan, Abdul. 1995. Teori Dan Praktek Ekonomi Islam. Yogyakarta :
PT Dana Bhakti Wakaf.
Rahman, Afzalur. 1995. Doktrin Ekonomi Islam. Yogyakarta :
PT. Dana Bhakti Wakaf.
http://ditjenpdn.depdag.go.id/pls/portal30/url/folder/
http://fossei.4t.com/Artikel.htm
http://muhammadfendisyariah.blog.friendster.com/about/
http://www.ekonomisyariah.org/docs/detail_cara.php?idKategori=1
0 komentar:
Posting Komentar