1. Sebutan Diri
Kelompok
masyarakat terasing yang bermukim di sekitar pegunungan duabelas Jambi
menyebut diri Orang Rimba yang dibedakan dengan masyarakat luar, yang
disebut orang terang. Anak Dalam juga merupakan sebutan diri yang mereka
senangi, dan mereka sangat marah jika disebut orang Kubu, sebutan itu
dianggap merendahkan diri mereka. Dalam
percakapan antar warga masyarakat jambi tentang orang Kubu tercermin
dari ungkapan seseorang yang menunjukan segi kedudukan dan kebodohan,
misalnya membuang sampah sembarangan diumpat “Kubu kau….!”. sebutan lain
yang disenangi orang rimba ialah “sanak”, yaitu cara memanggil
seseorang yang belum kenal dan jarang bertemu. Bila sudah sering bertemu
maka panggilan akrab ialah “nco” yang berarti kawan.(Soetomo, 1995:58)
Senada dengan diatas Butet Manurung juga mengemukakan bahwa, kubu berarti kotor, primitif, kafir, atau arti lain yang senada. Kata ini sebenarnya berasal dari Orang Rimba yang justru dipakai oleh orang luar untuk menunjukan identitas Orang Rimba yang “primitif”. Di kemudian hari, penyebutan ini ternyata mempengaruhi cara pandang dan perilaku Orang Rimba bila berhadapan dengan orang luar. Mereka menjadi merasa rendah diri dan hilang kepercayaan terhadap dirinya sendiri. (Manurung, 2007:41)
Senada dengan diatas Butet Manurung juga mengemukakan bahwa, kubu berarti kotor, primitif, kafir, atau arti lain yang senada. Kata ini sebenarnya berasal dari Orang Rimba yang justru dipakai oleh orang luar untuk menunjukan identitas Orang Rimba yang “primitif”. Di kemudian hari, penyebutan ini ternyata mempengaruhi cara pandang dan perilaku Orang Rimba bila berhadapan dengan orang luar. Mereka menjadi merasa rendah diri dan hilang kepercayaan terhadap dirinya sendiri. (Manurung, 2007:41)
2. Asal Usul Suku Anak Dalam (Orang Rimba)
Tentang asal usul Suku Anak Dalam (Muchlas, 1975) menyebutkan
bermacam cerita/hikayat dari penuturan lisan yakni: Cerita Buah
Gelumpang, Tambo Anak Dalam (Minangkabau), Cerita Orang Kayu Hitam,
Cerita Seri Sumatera Tengah, Cerita Perang Jambi dengan Belanda, Cerita
Tambo Sriwijaya, Cerita Turunan Ulu Besar dan Bayat, Cerita tentang
Orang Kubu. Dari cerita/hikayat tersebut Muchlas menarik kesimpulan
bahwa Anak Dalam berasal dari tiga keturunan:
1. Keturunan dari Sumatera Selatan, umumnya tinggal di wilayah Kabupaten Batanghari.
2. Keturunan dari Minangkabau umumnya di Kabupaten Bungo Tebo sebagian Mersan.
3. Keturunan dari Jambi Asli ialah Kubu Air Hitam Kabupaten Sarolangun Bangko.
2. Keturunan dari Minangkabau umumnya di Kabupaten Bungo Tebo sebagian Mersan.
3. Keturunan dari Jambi Asli ialah Kubu Air Hitam Kabupaten Sarolangun Bangko.
Versi lain asal usul menurut Orang Rimba sendiri dalam Disertasi
Muntholib Soetomo yaitu, seorang yang gagah berani bernama Bujang
Perantau. Pada suatu hari memperoleh buah gelumpang dan dibawa
kerumahnya. Suatu malam ia bermimpi agar buah gelumpang itu dibungkus
dengan kain putih yang nanti akan terjadi keajaiban, yang berubah
menjadi seorang putri yang cantik. Putri itu mengajak kimpoi Bujang
Perantau, namun Bujang Perantau berkata bahwa tidak ada orang yang
mengawinkan mereka. Putri tersebut berkata : “Potonglah sebatang kayu
bayur dan kupas kulitnya kemudian lintangkan di sungai, kamu berjalan
dari pakal saya dari ujung. Kalau kiata dapat beradu kening di atas kayu
tersebut berarti kita sudah kimpoi”. Permintaan itu dipenuhi oleh
Bujang Perantau dan terpenuhi segala syaratnya, kemudian keduanya
menjadi suami isteri. Dari hasil perkimpoian itu lahirlah empat orang
anak, yaitu Bujang Malapangi, Dewo Tunggal, Putri Gading, Dan Putri
Selaro Pinang Masak. Bujang Malapangi, anak tertua yang bertindak
sebagai pangkal waris dan Putri Selaro Pinang masak sebagai anak bungsu
atau disebut juga ujung waris keluar dari hutan untuk pergi membuat
kampung dan masuk islam; ke duanya menjadi orang Terang. Putri Selaras
Pinang Masak menetap di Seregam Tembesi, sedangkan Bujang Malapangi
membuat kampung pertama di sekitar sungai Makekal pertama di Kembang
Bungo, ke dua Empang Tilan, ke tiga di Cempedak Emas, ke empat di
Perumah Buruk, ke lima di Limau Sundai, dan kampong terakhir di Tanah
Garo sekarang. Hal inilah membuat orang Rimba menjadikan tokoh keturunan
Bujang Malapangi sebagai Jenang (orang yang dapat diterima oleh orang
Rimba dan juga oleh orang lain, selain orang Rimba yang berfungsi
sebagai perantara bagi orang Rimbo yang akan berhubungan dengan orang
lain atau orang lain yang akan berhubungan dengan orang Rimba). Jenang
yang paling berpengaruh dijadikan rajo (raja), dan segala urusan antara
orang Rimba dengan orang luar harus melibatkan Jenang mereka dan
rajo-nya.
Secara mitologi, mereka (Suku Anak-Dalam) masih menganggap satu keturunan dengan Puyang Lebar Telapak yang berasal dari Desa Cambai, Muara Enim. Menurut pengingatan mereka, yang didapat dari penuturan kakek-neneknya, bahwa sebelum mereka bertempat tinggal di wilayah Sako Suban, mereka tinggal di dusun Belani, wilayah Muara Rupit. Mereka hijrah karena terdesak waktu perang ketika zaman kesultanan Palembang dan ketika masa penjajahan kolonial Belanda. Secara tepat waktu kapan mereka hijrah tidak diketahui lagi, yang mereka (Suku Anak Dalam) ingat berdasarkan penuturan, hanya masa kesultanan Palembang dan masa penjajahan Belanda. Dari Dusun Belani, Suku Anak-Dalam mundur lebih masuk ke hutan dan sampai di wilayah Sako Suban. Di wilayah Sako Suban ini, mereka bermukim di wilayah daratan diantara sungai Sako Suban dan sungai Sialang, keduanya sebagai anak dari sungai Batanghari Leko. Wilayah pemukiman yang mereka tempati disebut dengan Tunggul Mangris. (Dirjen Bina Masyarakat Terasing Depsos RI, 1998 :55-56)
Secara mitologi, mereka (Suku Anak-Dalam) masih menganggap satu keturunan dengan Puyang Lebar Telapak yang berasal dari Desa Cambai, Muara Enim. Menurut pengingatan mereka, yang didapat dari penuturan kakek-neneknya, bahwa sebelum mereka bertempat tinggal di wilayah Sako Suban, mereka tinggal di dusun Belani, wilayah Muara Rupit. Mereka hijrah karena terdesak waktu perang ketika zaman kesultanan Palembang dan ketika masa penjajahan kolonial Belanda. Secara tepat waktu kapan mereka hijrah tidak diketahui lagi, yang mereka (Suku Anak Dalam) ingat berdasarkan penuturan, hanya masa kesultanan Palembang dan masa penjajahan Belanda. Dari Dusun Belani, Suku Anak-Dalam mundur lebih masuk ke hutan dan sampai di wilayah Sako Suban. Di wilayah Sako Suban ini, mereka bermukim di wilayah daratan diantara sungai Sako Suban dan sungai Sialang, keduanya sebagai anak dari sungai Batanghari Leko. Wilayah pemukiman yang mereka tempati disebut dengan Tunggul Mangris. (Dirjen Bina Masyarakat Terasing Depsos RI, 1998 :55-56)
Versi Departemen sosial dalam data dan informasi Depsos RI (1990)
menyebutkan asal usul Suku Anak-Dalam yakni : sejak Tasun 1624
Kesultanan Palembang dan Kerajaan Jambi, yang sebenarnya masih satu
rumpun, memang terus menerus bersitegang dan pertempuran di Air Hitam
akhirnya pecah pada tahun 1629. Versi ini menunjukkan mengapa saat ini
ada dua kelompok masyarakat anak-dalam dengan bahasa, bentuk fisik,
tempat tinggal dan adat istiadat yang berbeda. Mereka yang menempati
belantara Musi Rawas (Sumatera Selatan) berbahasa Melayu, berkulit
kuning dengan postur tubuh ras Mongoloid seperti orang Palembang
sekarang. Mereka ini keturunan pasukan palembang. Kelompok lainnya
tinggal di kawasan hutan Jambi berkulit sawo matang, rambut ikal, mata
menjorok ke dalam. Mereka tergolong ras wedoid (campuran wedda dan
negrito). Konon mereka tentara bayaran Kerajaan Jambi dari negeri lain.
Versi lain adalah cerita tentang perang jambi dengan belanda yang
berakhir pada tahun 1904, pihak pasukan Jambi yang dibela oleh
Anak-Dalam yang dipimpin oleh Raden Perang. Raden Perang adalah cucu
Raden Nagasari. Dalam perang gerilya maka terkenallah Anak-Dalam dengan
sebutan Orang Kubu artinya orang yang tak mau menyerah pada penjajah
Belanda yang membawa penyakit jauh senjata api. Orang Belanda disebut
Orang Kayo Putih sebagai lawan Raja Jambi (Orang Kayo Hitam)
(Muchlas,1995).
Lebih lanjut tentang asal-usul “Suku Anak-Dalam” ini juga dimuat pada seri profil masyarakat terasing (BMT, Depsos, 1988) yakni sebagai berikut :
Lebih lanjut tentang asal-usul “Suku Anak-Dalam” ini juga dimuat pada seri profil masyarakat terasing (BMT, Depsos, 1988) yakni sebagai berikut :
Pada zaman dahulu kala terjadi peperangan antara Kerajaan Jambi yang
dipimpin oleh Puti Selaras Pinang Masak dan kerajaan Tanjung Jabung
dipimpin oleh Rangkayo Hitam. Peperangan ini semakin berkobar, akhirnya
didengar oleh Raja Pagar Ruyung, yaitu ayah dari Puti Selaras Pinang
Masak. Raja Pagar Ruyung memerintahkan agar dapat menaklukkan Kerajaan
Rangkayo Hitam, mereka menyanggupi dan bersumpah/berjanji tidak akan
kembali sebelum menang. Jarak antara kerajaan Pagar Ruyung dengan
Kerajaan Jambi sangat jauh, harus melalui hutan rimba belantara dengan
berjalan kaki. Perjalanan mereka sudah berhari-hari lamanya, kondisi
mereka sudah mulai menurun sedangkan persediaan bahan makanan sudah
habis, mereka sudah kebingungan. Perjalanan yang ditempuh masih jauh,
untuk kembali ke Kerajaan Pagar Ruyung mereka merasa malu. Sehingga
mereka bermusyawarah untuk mempertahankan diri hidup didalam rimba.
Untuk menghindari rasa malu mereka mencari tempat-tempat yang sepi
dan jauh ke dalam rimba raya. Keadaan kehidupan mereka makin lama
semakin terpencil, keturunan mereka menamakan dirinya Suku Anak-Dalam.
Tentang Suku Anak-Dalam ini (Orang Rimba) Ruliyanto, wartawan Tempo
(Tempo, April 2002:70) menulis bahwa : sejumlah artikel menyebut orang
rimba merupakan kelompok melayu tua dari rumpun Melanesia. Mereka
disamakan dengan kelompok melayu tua lainnya di Indonesia seperti orang
Dayak, Sakai, Mentawai, Nias, Toraja, Sasak, Papua, dan Batak pedalaman.
Kelompok melayu tua merupakan eksodus gelombang pertama dari Yunan
(dekat lembah sungai Yang Tze di Cina Selatan) yang masuk ke Indonesia
Selatan tahun 2000 sebelum masehi. Mereka kemudian tersingkir dan lari
ke hutan ketika kelompok Melayu Muda datang dengan mengusung peradaban
yang lebih tinggi antara tahun 2000 dan 3000 sebelum masehi.
Menurut Van Dongen (1906) dalam Tempo (2002:71) menyebutkan bahwa
Orang Rimba sebagai orang primitif yang taraf kemampuannya masih sangat
rendah dan tak beragama. Dalam hubungannya dengan dunia luar kota Orang
Rimba mempraktekan silent trade mereka melakukan transaksi dengan
bersembunyi di dalam hutan dan melakukan barter, mereka meletakkannya di
pinggir hutan, kemudian orang melayu akan mengambil dan menukarnya.
Gongongan anjing merupakan tanda barang telah ditukar.
Senada dengan itu Bernard Hagen (1908) dalam Tempo (2002:71) (die
orang kubu auf Sumatera) menyatakan Orang Rimba sebagai orang pra melayu
yang merupakan penduduk asli Sumatera demikian pula Paul Bescrta
mengatakan bahwa orang Rimba semua dengan proto melayu (melayu tua) yang
ada di Semen njung Melayu yang terdesak oleh kedatangan melayu muda.