Masih berlakukah arogansi organisasi
di era keterbukaan social media? Harus berapa kasus lagi untuk membuktikan
bahwa arogansi public relations bisa menjadi boomerang? Di mana peran PR
(Public Relations) Citibank dengan 2 kasusnya baru-baru ini?
Kasus yang menimpa Prita
Mulyasari dengan Rumah Sakit Omni jadi pelajaran penting bagi organisasi untuk
tidak arogan. Seandainya RS Omni tidak mempertahankan tuntutan di saat
masyarakat kontra, mungkin kasusnya tidak melebar. Berada di posisi Omni saat
itu memang tidak mudah, di antara pembelaan diri dari nama buruk akibat tuduhan
pasien yang mungkin saja tidak 100 % kebenarannya, dan tuntutan pelayanan serta
empati terhadap pasien. Yang diinginkan masyarakat saat itu adalah jalan
kekeluargaan dan permintaan maaf. Sikap humble untuk menggantikan arogansi.
Contoh lain adalah kasus
brand wafer yang sempat mengucapkan hal yang tidak etik bagi brand di status
facebook fanpagenya. Berita kesalahannya semakin meluas, justru karena admin,
yang notabene online Public Relations-nya, tidak meminta maaf atas kesalahan
status updatesnya tetapi hanya menghapus dan memberikan statement di media massa bahwa ada pihak
yang meng-hack akunnya. Statement ini membuat heboh, karena onliners tidak
mempercayainya, yang mereka inginkan adalah permintaan maaf kepada masyarakat.
Sedangkan untuk kesalahannya, saya yakin masyarakat Indonesia/onliners dapat
memaafkan bila ada sikap humble. Contohnya yang terjadi pada salah satu brand
franchise kuliner.
Beberapa bulan yang lalu
salah satu franchise kuliner mengalami kesalahan debet pada kartu debet
pelanggannya. Jadi misalnya harga yang semestinya hanya puluhan ribu, ternyata
kasir melakukan kesalahan mendebet hingga ratusan ribu (kelebihan 1 digit 0).
Dengan segera brand itu mencantumkan permintaan maaf di tab facebook
fanpagenya. Dan apakah beritanya jadi heboh? Tidak! Seandainya saya bertanya
kepada pembaca tentang brandnya, mungkin sedikit saja yang mengetahui beritanya
karena tidak menyebar, karena dengan permintaan maaf itu masyarakat kita akan
lebih respect.
Kasus Singapore Airlines
(SAL) dan Garuda Indonesia (GA) bisa jadi contoh bagus, bagaimana musibah yang
sempat mencoreng nama, justru berbalik jadi citra positif bila public
relationsnya dikemas dengan tepat.
Dalam kasus SAL yang
tergelincir dan mendarat di bandara Hong Kong ,
President Director-nya tampil ke public menyatakan permintaan maaf kepada
keluarga penumpang. Sekaligus menjelaskan langkah-langkah yang sedang dan akan
diambil. Sama juga dengan langkah yang diambil GA saat pesawatnya mendarat di
Solo beberapa waktu lalu, di mana President Directornya juga maju untuk
memberikan statement. Dua peristiwa ini justru mengangkat citra pilotnya yang
cepat mengambil tindakan dan mampu menguasai pendaratan dalam keadaan darurat.
Bagaimana dengan Citibank yang baru-baru ini mengalami
dua musibah beruntun yang mencoreng citranya?
Yang pertama adalah kasus
tewasnya nasabah di kantor Citibank akibat dianiaya oleh debt collector yang
dioutsource Citibank. Permasalahannya, bukan siapa yang membunuh, tetapi
kabarnya itu terjadi di kantor Citibank, yang berarti merusak reputasi bank
besar ini dari 2 sisi, keselamatan nasabah dan kebijakan outsource untuk debt
collector (yang juga dilakukan oleh bank lain). Kasus kedua adalah penggelapan
uang nasabah yang dilakukan oleh mantan karyawan, tak lain adalah Melinda Dee.
Pada kasus Melinda Dee,
memang Citibank tidak sepenuhnya salah, karena persoalannya bermuara antara
Melinda Dee dan nasabahnya. Customer Representative dan teller yang bermasalah
dalam perpindahan sejumlah rekening nasabah ke rekening perusahaan Melinda. Ini
terjadi juga di banyak bank lain. Namun, image SDM Citibank tetaplah kena
akibatnya, apalagi bank berbasis kepercayaan. Diperlukan kampanye internal
sebagai perbaikan dan eksternal untuk pemulihan kepercayaan. Tetapi kasus ini
juga menjadi pelajaran cantik untuk kita semua sebagai nasabah agar lebih
teliti juga.
Dalam kasus tewasnya
nasabah, tampaknya Citibank melakukan aksi reaktif untuk krisis yang terjadi,
seperti umumnya Public Relations yang menyiapkan standby statement dan hanya
menjawab jika ada media yang bertanya. Itupun terkesan tidak terbuka. Statement
yang diungkapkan oleh juru bicaranya berupa statement umum, seperti ‘diserahkan
ke pihak kepolisian’ atau ‘tunggu proses hukum’. Bahkan statement sudah
dilakukan permintaan maaf kepada keluarga korban pun sempat dibantah media.
Sementara yang publik
inginkan adalah gambaran kronologis mengapa hal itu dapat terjadi masih ditutup
rapat. Apa kebijakan manajemen terhadap jasa debt collector, kronologi, dan
juga permintaan maaf secara resmi dari perusahaan, tidak dijelaskan dengan
segera, sehingga terjadi kesimpang siuran berita, sementara kematian adalah
masalah serius. Bagaimana bila terjadi di perusahaan tambang dan penerbangan?
Pasti menjadi perhatian besar.
Sebenarnya
kasus tewasnya nasabah ini juga akan bermuara ke Bank Indonesia selaku pengawas perbankan Indonesia ,
di mana peraturan perlindungan nasabah tidak diaplikasikan sebagaimana
mestinya.
Seperti yang dilakukan SAL
dan GA, situasi krisis adalah tantangan di mana Public Relations dapat
memanfaatkannya untuk arena ‘bermain’ menunjukkan giginya, karena di sinilah
Public Relations tampil. Di sinilah masyarakat melihat jelas fungsi PR dan
manajemen krisisnya.
Di saat situasi semacam
inilah kita akan melihat, apakah organisasi memberi jawaban normatif,
defensif, reaktif atau terbuka terhadap kasus. Melakukan permintaan maaf dan
mengumumkan bentuk pertanggungjawaban atau memberikan solusi. Bila tidak, maka
akan memperburuk citranya. Namun PR juga tidak boleh panic dan tergesa-gesa.
Dalam manajemen krisis, statement adalah bagian penting dari strategi, dan
haruslah konsisten dengan tindakan. Dalam situasi darurat, membuat masyarakat
dan media menunggu adalah kesalahan besar, tetapi memberi statement tanpa data
dan informasi akurat akan lebih berbahaya lagi.
Citibank
memang perusahaan besar dengan reputasi istimewa. Image ini sudah terbangun
lama, bukan instant. Namun, image juga tidaklah stagnan, harus dievalusai,
dikoreksi, dan diinovasi, bukan? Dua kasus Citibank ini adalah pelajaran
penting bagi organisasi untuk tidak selalu arogan, merasa punya sistem terbaik,
dan hidup di zona nyaman.