Sabtu, 21 April 2012

Belajar Public Relations Berbagai Kasus, Krisis Jadi Berkah?


Masih berlakukah arogansi organisasi di era keterbukaan social media? Harus berapa kasus lagi untuk membuktikan bahwa arogansi public relations bisa menjadi boomerang? Di mana peran PR (Public Relations) Citibank dengan 2 kasusnya baru-baru ini?
Kasus yang menimpa Prita Mulyasari dengan Rumah Sakit Omni jadi pelajaran penting bagi organisasi untuk tidak arogan. Seandainya RS Omni tidak mempertahankan tuntutan di saat masyarakat kontra, mungkin kasusnya tidak melebar. Berada di posisi Omni saat itu memang tidak mudah, di antara pembelaan diri dari nama buruk akibat tuduhan pasien yang mungkin saja tidak 100 % kebenarannya, dan tuntutan pelayanan serta empati terhadap pasien. Yang diinginkan masyarakat saat itu adalah jalan kekeluargaan dan permintaan maaf. Sikap humble untuk menggantikan arogansi.

Contoh lain adalah kasus brand wafer yang sempat mengucapkan hal yang tidak etik bagi brand di status facebook fanpagenya. Berita kesalahannya semakin meluas, justru karena admin, yang notabene online Public Relations-nya, tidak meminta maaf atas kesalahan status updatesnya tetapi hanya menghapus dan memberikan statement di media massa bahwa ada pihak yang meng-hack akunnya. Statement ini membuat heboh, karena onliners tidak mempercayainya, yang mereka inginkan adalah permintaan maaf kepada masyarakat. Sedangkan untuk kesalahannya, saya yakin masyarakat Indonesia/onliners dapat memaafkan bila ada sikap humble. Contohnya yang terjadi pada salah satu brand franchise kuliner.
Beberapa bulan yang lalu salah satu franchise kuliner mengalami kesalahan debet pada kartu debet pelanggannya. Jadi misalnya harga yang semestinya hanya puluhan ribu, ternyata kasir melakukan kesalahan mendebet hingga ratusan ribu (kelebihan 1 digit 0). Dengan segera brand itu mencantumkan permintaan maaf di tab facebook fanpagenya. Dan apakah beritanya jadi heboh? Tidak! Seandainya saya bertanya kepada pembaca tentang brandnya, mungkin sedikit saja yang mengetahui beritanya karena tidak menyebar, karena dengan permintaan maaf itu masyarakat kita akan lebih respect.
Kasus Singapore Airlines (SAL) dan Garuda Indonesia (GA) bisa jadi contoh bagus, bagaimana musibah yang sempat mencoreng nama, justru berbalik jadi citra positif bila public relationsnya dikemas dengan tepat.
Dalam kasus SAL yang tergelincir dan mendarat di bandara Hong Kong, President Director-nya tampil ke public menyatakan permintaan maaf kepada keluarga penumpang. Sekaligus menjelaskan langkah-langkah yang sedang dan akan diambil. Sama juga dengan langkah yang diambil GA saat pesawatnya mendarat di Solo beberapa waktu lalu, di mana President Directornya juga maju untuk memberikan statement. Dua peristiwa ini justru mengangkat citra pilotnya yang cepat mengambil tindakan dan mampu menguasai pendaratan dalam keadaan darurat.
Bagaimana dengan Citibank yang baru-baru ini mengalami dua musibah beruntun yang mencoreng citranya?
Yang pertama adalah kasus tewasnya nasabah di kantor Citibank akibat dianiaya oleh debt collector yang dioutsource Citibank. Permasalahannya, bukan siapa yang membunuh, tetapi kabarnya itu terjadi di kantor Citibank, yang berarti merusak reputasi bank besar ini dari 2 sisi, keselamatan nasabah dan kebijakan outsource untuk debt collector (yang juga dilakukan oleh bank lain). Kasus kedua adalah penggelapan uang nasabah yang dilakukan oleh mantan karyawan, tak lain adalah Melinda Dee.
Pada kasus Melinda Dee, memang Citibank tidak sepenuhnya salah, karena persoalannya bermuara antara Melinda Dee dan nasabahnya. Customer Representative dan teller yang bermasalah dalam perpindahan sejumlah rekening nasabah ke rekening perusahaan Melinda. Ini terjadi juga di banyak bank lain. Namun, image SDM Citibank tetaplah kena akibatnya, apalagi bank berbasis kepercayaan. Diperlukan kampanye internal sebagai perbaikan dan eksternal untuk pemulihan kepercayaan. Tetapi kasus ini juga menjadi pelajaran cantik untuk kita semua sebagai nasabah agar lebih teliti juga.


Dalam kasus tewasnya nasabah, tampaknya Citibank melakukan aksi reaktif untuk krisis yang terjadi, seperti umumnya Public Relations yang menyiapkan standby statement dan hanya menjawab jika ada media yang bertanya. Itupun terkesan tidak terbuka. Statement yang diungkapkan oleh juru bicaranya berupa statement umum, seperti ‘diserahkan ke pihak kepolisian’ atau ‘tunggu proses hukum’. Bahkan statement sudah dilakukan permintaan maaf kepada keluarga korban pun sempat dibantah media.
Sementara yang publik inginkan adalah gambaran kronologis mengapa hal itu dapat terjadi masih ditutup rapat. Apa kebijakan manajemen terhadap jasa debt collector, kronologi, dan juga permintaan maaf secara resmi dari perusahaan, tidak dijelaskan dengan segera, sehingga terjadi kesimpang siuran berita, sementara kematian adalah masalah serius. Bagaimana bila terjadi di perusahaan tambang dan penerbangan? Pasti menjadi perhatian besar.

Sebenarnya kasus tewasnya nasabah ini juga akan bermuara ke Bank Indonesia selaku pengawas perbankan Indonesia, di mana peraturan perlindungan nasabah tidak diaplikasikan sebagaimana mestinya.
Seperti yang dilakukan SAL dan GA, situasi krisis adalah tantangan di mana Public Relations dapat memanfaatkannya untuk arena ‘bermain’ menunjukkan giginya, karena di sinilah Public Relations tampil. Di sinilah masyarakat melihat jelas fungsi PR dan manajemen krisisnya.
Di saat situasi semacam inilah kita akan melihat, apakah organisasi memberi jawaban normatif,  defensif, reaktif atau terbuka terhadap kasus. Melakukan permintaan maaf dan mengumumkan bentuk pertanggungjawaban atau memberikan solusi. Bila tidak, maka akan memperburuk citranya. Namun PR juga tidak boleh panic dan tergesa-gesa. Dalam manajemen krisis, statement adalah bagian penting dari strategi, dan haruslah konsisten dengan tindakan. Dalam situasi darurat, membuat masyarakat dan media menunggu adalah kesalahan besar, tetapi memberi statement tanpa data dan informasi akurat akan lebih berbahaya lagi.
Citibank memang perusahaan besar dengan reputasi istimewa. Image ini sudah terbangun lama, bukan instant. Namun, image juga tidaklah stagnan, harus dievalusai, dikoreksi, dan diinovasi, bukan? Dua kasus Citibank ini adalah pelajaran penting bagi organisasi untuk tidak selalu arogan, merasa punya sistem terbaik, dan hidup di zona nyaman.

Jumat, 13 April 2012

Kota Sungai Penuh

Kronologis Pembentukan Kota Sungai Penuh

  1. Keputusan Pemerintah Kerajaan Belanda (Government Besluit) Nomor 13 tanggal 3 Nopember 1909, Sungai Penuh ditunjuk sebagai Ibukota.
  2. Aspirasi masyarakat membentuk Kota Sungai Penuh sejak  Tahun 1970-an.
  3. Perkembangan Kota Sungai Penuh tidak efektif dikelola hanya oleh Pemerintah Kecamatan
  4. Kota Sungai Penuh merupakan kota terpadat kedua di Propinsi Jambi setelah Kota Jambi.
  5. PP Nomor 129 tahun 2000 tentang persyaratan pembentukan dan kriteria pemekaran, penghapusan dan penggabungan daerah
  6. Untuk peningkatan pelayanan publik dan percepatan pembangunan.
  7. Hasil penelitian oleh Prof. Dr. Sadu Wasistiono,MS (Pasca Sarjana IPDN)  tahun 2005 yang menyatakan bahwa Kabupaten Kerinci layak untuk dimekarkan

Dasar Hukum

  1. UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional
  2. UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah
  3. UU No. 25 Tahun 2008 tentang Pembentukan Kota Sungai Penuh
  4. PP no. 8 Tahun 2008 tentang Tata cara Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan
  5. Permendagri No. 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah.

    Lambang dan arti lambang kota Sungai Penuh :


    Figura
    Diambil dari bentuk atap rumah adat Kota Sungai Penuh.

    Pintu Mesjid berjumlah 8 (delapan) buah
    Tanggal terbentuknya Kota Sungai Penuh yaitu tangal 8 (delapan). Pucuk Larangan atau Undang yang delapan.

    Garis-garis yang melingkari Gong adalah Gema Gong berjumlah 11 (sebelas) garis
    Tanggal terbentuknya Kota Sungai Penuh yaitu tangal 8 (delapan). Pucuk Larangan atau Undang yang delapan.

    Padi dan Kapas (Padi = 20 Butir,Kapas = 8 Buah)
    Cita-cita Pemerintah Kota Sungai Penuh untuk mewujudkan Kondisi Masyarakat yang makmur sejahtera dalam sandang dan pangan. Padi 20 Butir dan Kapas 8 buah adalah tahun terbentuknya Kota Sungai Penuh yaitu Tahun 2008.

    Gong
    Kekuatan Kebudayaan dan adat istiadat Kota Sungai Penuh. Mempertahankan Kedaulatan Daerah. Penyampaian pesan dari bathin kepada masyarakat. Bermusyawarah untuk mufakat.

    Mesjid Agung Pondok Tinggi
    Kota Sungai Penuh
    Mesjid Agung Kota Sungai Penuh   adalah ikon Kota Sungai Penuh yang menyimpan sejarah (Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Cagar Budaya) dan merupakan kebanggan masyarakat Kota Sungai Penuh dengan atap bertumpang 3 (tiga), berkaitan dengan 3 (tiga) filosofi hidup yang dijalankan sehari-hari, yaitu :
    1. berpucuk satu, melambangkan bahwa masyarakat Kota Sungai Penuh beriman  kepada Tuhan Yang Maha Esa;
    2. berjurai empat, melambangkan Kaum 4 jenis bersatu (Ulama, Adat, Cendikiawan dan Pemuda) dalam pembangunan Kota Sungai Penuh;
    3. bertumpang tiga, adalah melambangkan keteguhan masyarakat dalam menjaga 3 pusaka yang telah diwariskan secara turun temurun yaitu pusaka Teganai, pusaka Ninik Mamak dan pusaka Depati.

    Bintang Bersudut Lima
    Kesetiaan Masyarakat Kota Sungai Penuh pada Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berazaskan Pancasila

    Keris
    Sebagai Pusaka Suci peninggalan Depati-Depati yang melambang kan perjuangan rakyat Kota Sungai Penuh. Simbol dari menjunjung tinggi adat istiadat

    Bunga Melati Air
    Adalah stempel/cap yang tertera pada piagam/surat kuno baik yang berasal dari Jambi maupun Sumatera Barat masih banyak tersimpan pada tokoh-tokoh adat Kota Sungai Penuh. Ini bermakna secara kekerabatan Kota Sungai Penuh memiliki hubungan dengan Sumatera Barat, sedangkan dengan Jambi merupakan hubungan administrasi Pemerintahan yaitu Kota Sungai Penuh merupakan salah satu Kabupaten/Kota yang ada di Provinsi Jambi.

    Tulisan Incung
    Tulisan Incung Kuno yang terdapat hampir disetiap benda Pusaka Kota Sungai Penuh, tulisan ini telah digabungkan dan terbentuklah tulisan incung yang  artinya "SAHALUN SUHAK SALATUH BDEI". Ini berarti pula bahwa masyarakat Kota Sungai dari dulu sudah bisa menulis/membaca dan mempunyai SDM yang baik untuk berkomunikasi/bermasyarakat serta melakukan kegaiatan lain dalam kehidupan sehari-hari.

    Sahalun Suhak Salatuh Bdei
    Merupakan semboyan yang memperlihatkan kekompakan dan selalu bermusyawarah  untuk bermufakat dalam setiap pengambilan keputusan dengan satu kata dan perbuatan.

    Latar belakang Perbukitan dan Hamparan Sawah

    Sebagian dari wilayah Kota Sungai Penuh merupakan perbukitan yang kaya akan potensi wisata alam. Hamparan lahan subur/ persawahan.Topografi perbukitan dan hamparan merupakan potensi sekaligus bentuk bentang alam Kota Sungai Penuh.Sungai Penuh ditetapkan sebagai Ibukota Kerinci berdasarkan besluit Pemerintah Belanda Nomor 13 Tahun 1909 tanggal 3 November 1909 (STB Nomor 523).

    Gambar Ukiran Keluk Paku
    Kacang Belimbing

    Masyarakat Kota Sungai Penuh dalam menuntut ilmu tidak ada henti-hentinya seperti keluk paku dan akar kacang belimbing yang tidak bertemu ujung dan pangkalnya, menjalar terus menerus.

Kabupaten Batang Hari

SEJARAH KABUPATEN BATANG HARI

Kabupaten Batang Hari dengan mottonya “ Serentak Bak Regam” salah satu dari 10 kabupaten/Kota dalam Provinsi Jambi, yang usianya ternyata lebih tua dari provinsi Jambi yan bersemboyan “Bumi Sepucuk Jambi Sembilan Lurah”, Propinsi Jambi dibentuk pada tahun 1957 dengan Undang-undang Darurat Nomor 19 tahun 1957, bersamaan dengan pembentukan Provinsi Dati I Riau. Sedangkan Kabupaten Batang Hari dibentuk 1 Desember 1948 melalui Peraturan Komisaris Pemerintah Pusat di Bukit Tinggi Nomor 81/Kom/U, tanggal 30 Nopember 1948 dengan Pusat Pemerintahannya di Kota Jambi, sekarang Kodya Jambi. Tahun 1963 kedudukan pusat pemerintahan daerah ini pindah ke Kenali Asam, 10 Km dari kota Jambi, kemudian tahun 1979 berdasarkan PP. No 12 Tahun 1979 ibukota kabupaten yang terkenal kaya akan hasil tambang ini pindah dari Kenali Asam Ke Muara Bulian 64 Km dari Kota Jambi sampai saat ini.
 
Batang Hari yang ada sekarang mengalami dua kali pemekaran, awalnya kabupaten yang berada di Sumatera Bagian Tengah ini berdasarkan UU. No 7 Tahun 1965 dimekarkan menjadi dua daerah Tingkat II yaitu Kabupaten Batang Hari yang saat itu ibukotanya Kenali Asam dan Kabupaten Tanjung Jabung beribukota Kuala..Tungkal.
 
Dalam perkembangannya, sejalan dengan era reformasi dan tuntutan Otonomi Daerah, kabupaten yang dibelah sungai Batanghari ini sesuai dengan Undang-undang Nomor 54 Tahun 1999, kembali dimekarkan menjadi dua kabupaten yaitu Batang Hari dengan Ibukota Muara Bulian dan Muaro Jambi ibukotanya di Sengeti. Kabupaten Batang Hari Terdiri dari 8 Kecamatan.
 
Lambang dan Arti
Batang Hari Melalui Perda Nomor 38 Tahun 1976, Menetapkan Lambang Daerahnya Sebagai Berikut :
Lambang Berbentuk Perisai Segilima Yang Dilingkari Garis Putih Yang Menunjukkan Kesucian.
Di Dalamnya Terdapat Warna Hijau Menunjukkan Kesuburan.
Pucak Masjid Melambangkan Kepercayaan rakyat/yang sebagian Besar Beragama Islam.
Di Dalamnya Terdapat Warna Kuning Menunjukkan Kekayaan dan Keagungan, Kebesaran Rakyat Batang Hari.
Sedangkan Warna Biru Menunjukkan Sungai Batanghari.
Sungai Bercabang Dua Menunjukkan Geografis Batang Hari, Cabang ke Kiri adalah Sungai Batangtembesi, Cabang Kekanan Sungai Batanghari.
Keris Siginjai Menunjukkan Lambang Kerajaan-Kerajaan Dan Perjuangan Rakyat Jambi Termasuk Rakyat Batang Hari Dalam Melawan Penjajah.
Menara Minyak Melambangkan Terdapatnya Tambang Minyak.
Pohon Karet Menandakan akan Kesuburan/Kekayaan Alamnya.

Kabupaten Batang Hari,
Serentak Bak Regam, yang Artinya menunjukkan watak dan adat yang seiya sekata (musyawarah dan mufakat)
 

Provinsi Jambi

SEPUCUK JAMBI SEMBILAN LURAH

Pada logo Provinsi Jambi yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah Nomor 1 tahun 1969 tertera kalimat Sepucuk Jambi Sembilan Lurah.

PENGERTIAN LAMBANG DAERAH

  1. Bidang dasar persegi lima :
    Melambangkan jiwa dan semangat PANCASILA Rakyat Jambi.
  2. Enam lobang mesjid dan satu keris serta fondasi mesjid dua susun batu diatas lima dan dibawah tujuh : Melambangkan berdirinya daerah Jambi sebagai daerah otonom yang berhak mengatur rumahtangganya sendiri pada tanggal 6 Januari 1957.
  3. Sebuah mesjid :
    Melambangkan keyakinan dan ketaatan Rakyat Jambi dalam beragama.
  4. Keris Siginjai :
    Keris Pusaka yang melambangkan kepahlawanan Rakyat Jambi menentang penjajahan dan kezaliman menggambarkan bulan berdirinya Provinsi Jambi pada bulan Januari.
  5. Cerana yang pakai kain penutup persegi sembilan :
    Melambangkan Keiklasan yang bersumber pada keagungan Tuhan menjiwai Hati Nurani.
  6. GONG :
    Melambangkan jiwa demokrasi yang tersimpul dalam pepatah adat "BULAT AIR DEK PEMBULUH, BULAT KATO DEK MUFAKAT".
  7. EMPAT GARIS :
    Melambangkan sejarah rakyat Jambi dari kerajaan Melayu Jambi hingga menjadi Provinsi Jambi.
  8. Tulisan yang berbunyi: "SEPUCUK JAMBI SEMBILAN LURAH" didalam satu pita yang bergulung tiga dan kedua belah ujungnya bersegi dua melambangkan kebesaran kesatuan wilayah geografis 9 DAS dan lingkup wilayah adat dari Jambi : "SIALANG BELANTAK
  9. BESI SAMPAI DURIAN BATAKUK RAJO DAN DIOMBAK NAN BADABUR, TANJUNG JABUNG".

SEJARAH BERDIRINYA PROVINSI JAMBI

Dengan berakhirnya masa kesultanan Jambi menyusul gugurnya Sulthan Thaha Saifuddin tanggal 27 April 1904 dan berhasilnya Belanda menguasai wilayah-wilayah Kesultanan Jambi, maka Jambi ditetapkan sebagai Keresidenan dan masuk ke dalam wilayah Nederlandsch Indie. Residen Jambi yang pertama O.L Helfrich yang diangkat berdasarkan Keputusan Gubernur Jenderal Belanda No. 20 tanggal 4 Mei 1906 dan pelantikannya dilaksanakan tanggal 2 Juli 1906.
Kekuasan Belanda atas Jambi berlangsung ± 36 tahun karena pada tanggal 9 Maret 1942 terjadi peralihan kekuasaan kepada Pemerintahan Jepang. Dan pada 14 Agustus 1945 Jepang menyerah pada sekutu. Tanggal 17 Agustus 1945 diproklamirkanlah Negara Republik Indonesia. Sumatera disaat Proklamasi tersebut menjadi satu Provinsi yaitu Provinsi Sumatera dan Medan sebagai ibukotanya dan MR. Teuku Muhammad Hasan ditunjuk memegangkan jabatan Gubernurnya.
Pada tanggal 18 April 1946 Komite Nasional Indonesia Sumatera bersidang di Bukittinggi memutuskan Provinsi Sumatera terdiri dari tiga Sub Provinsi yaitu Sub Provinsi Sumatera Utara, Sumatera Tengah dan Sumatera Selatan.
Sub Provinsi Sumatera Tengah mencakup keresidenan Sumatra Barat, Riau dan Jambi. Tarik menarik Keresidenan Jambi untuk masuk ke Sumatera Selatan atau Sumatera Tengah ternyata cukup alot dan akhirnya ditetapkan dengan pemungutan suara pada Sidang KNI Sumatera tersebut dan Keresidenan Jambi masuk ke Sumatera Tengah. Sub-sub Provinsi dari Provinsi Sumatera ini kemudian dengan undang-undang nomor 10 tahun 1948 ditetapkan sebagai Provinsi.
Dengan UU.No. 22 tahun 1948 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah keresidenan Jambi saat itu terdiri dari 2 Kabupaten dan 1 Kota Praja Jambi. Kabupaten-kabupaten tersebut adalah Kabupaten Merangin yang mencakup Kewedanaan Muara Tebo, Muaro Bungo, Bangko dan Batanghari terdiri dari kewedanaan Muara Tembesi, Jambi Luar Kota, dan Kuala Tungkal. Masa terus berjalan, banyak pemuka masyarakat yang ingin keresidenan Jambi untuk menjadi bagian Sumatera Selatan dan dibagian lain ingin tetap bahkan ada yang ingin berdiri sendiri. Terlebih dari itu, Kerinci kembali dikehendaki masuk Keresidenan Jambi, karena sejak tanggal 1 Juni 1922 Kerinci yang tadinya bagian dari Kesultanan Jambi dimasukkan ke keresidenan Sumatera Barat tepatnya jadi bagian dari Kabupaten Pesisir Selatan dan Kerinci (PSK)
Tuntutan keresidenan Jambi menjadi daerah Tingkat I Provinsi diangkat dalam Pernyataan Bersama antara Himpunan Pemuda Merangin Batanghari (HP.MERBAHARI) dengan Front Pemuda Jambi (FROPEJA) Tanggal 10 April 1954 yang diserahkan langsung Kepada Bung Hatta Wakil Presiden di Bangko, yang ketika itu berkunjung kesana. Penduduk Jambi saat itu tercatat kurang lebih 500.000 jiwa (tidak termasuk Kerinci)
Keinginan tersebut diwujudkan kembali dalam Kongres Pemuda se-Daerah Jambi 30 April – 3 Mei 1954 dengan mengutus tiga orang delegasi yaitu Rd. Abdullah, AT Hanafiah dan H. Said serta seorang penasehat delegasi yaitu Bapak Syamsu Bahrun menghadap Mendagri Prof. DR.MR Hazairin.
Berbagai kebulatan tekad setelah itu bermunculan baik oleh gabungan parpol, Dewan Pemerintahan Marga, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Merangin, Batanghari. Puncaknya pada kongres rakyat Jambi 14-18 Juni 1955 di gedung bioskop Murni terbentuklah wadah perjuangan Rakyat Jambi bernama Badan Kongres Rakyat Djambi (BKRD) untuk mengupayakan dan memperjuangkan Jambi menjadi Daerah Otonomi Tingkat I Provinsi Jambi.
Pada Kongres Pemuda se-daerah Jambi tanggal 2-5 Januari 1957 mendesak BKRD menyatakan Keresidenan Jambi secara de facto menjadi Provinsi selambat-lambatnya tanggal 9 Januari 1957 .
Sidang Pleno BKRD tanggal 6 Januari 1957 pukul 02.00 dengan resmi menetapkan keresidenan Jambi menjadi Daerah Otonomi Tingkat I Provinsi yang berhubungan langsung dengan pemerintah pusat dan keluar dari Provinsi Sumatera Tengah. Dewan Banteng selaku penguasa pemerintah Provinsi Sumatera Tengah yang telah mengambil alih pemerintahan Provinsi Sumatera Tengah dari Gubernur Ruslan Mulyohardjo pada tanggal 9 Januari 1957 menyetujui keputusan BKRD.
Pada tanggal 8 Februari 1957 Ketua Dewan Banteng Letkol Ahmad Husein melantik Residen Djamin gr. Datuk Bagindo sebagai acting Gubernur dan H. Hanafi sebagai wakil Acting Gubernur Provinsi Djambi, dengan staff 11 orang yaitu Nuhan, Rd. Hasan Amin, M. Adnan Kasim, H.A. Manap, Salim, Syamsu Bahrun, Kms. H.A.Somad. Rd. Suhur, Manan, Imron Nungcik dan Abd Umar yang dikukuhkan dengan SK No. 009/KD/U/L KPTS. tertanggal 8 Februari 1957 dan sekaligus meresmikan berdirinya Provinsi Jambi di halaman rumah Residen Jambi (kini Gubernuran Jambi).
Pada tanggal 9 Agustus 1957 Presiden RI Ir. Soekarno akhirnya menandatangani di Denpasar Bali. UU Darurat No. 19 tahun 1957 tentang Pembentukan Provinsi Sumatera Barat, Riau dan Jambi. Dengan UU No. 61 tahun 1958 tanggal 25 Juli 1958 UU Darurat No. 19 Tahun 1957 Tentang Pembentukan Daerah Sumatera Tingkat I Sumatera Barat, Djambi dan Riau. (UU tahun 1957 No. 75) sebagai Undang-undang.
Dalam UU No. 61 tahun 1958 disebutkan pada pasal 1 hurup b, bahwa daerah Swatantra Tingkat I Jambi wilayahnya mencakup wilayah daerah Swatantra Tingkat II Batanghari, Merangin, dan Kota Praja Jambi serta Kecamatan-Kecamatan Kerinci Hulu, Tengah dan Hilir.
Kelanjutan UU No. 61 tahun 1958 tersebut pada tanggal 19 Desember 1958 Mendagri Sanoesi Hardjadinata mengangkat dan menetapkan Djamin gr. Datuk Bagindo Residen Jambi sebagai Dienst Doend DD Gubernur (residen yang ditugaskan sebagai Gubernur Provinsi Jambi dengan SK Nomor UP/5/8/4). Pejabat Gubernur pada tanggal 30 Desember 1958 meresmikan berdirinya Provinsi Jambi atas nama Mendagri di Gedung Nasional Jambi (sekarang gedung BKOW). Kendati dejure Provinsi Jambi di tetapkan dengan UU Darurat 1957 dan kemudian UU No. 61 tahun 1958 tetapi dengan pertimbangan sejarah asal-usul pembentukannya oleh masyarakat Jambi melalui BKRD maka tanggal Keputusan BKRD 6 Januari 1957 ditetapkan sebagai hari jadi Provinsi Jambi, sebagaimana tertuang dalam Peraturan Daerah Provinsi Djambi Nomor. 1 Tahun 1970 tanggal 7 Juni 1970 tentang Hari Lahir Provinsi Djambi.
Adapun nama Residen dan Gubernur Jambi mulai dari masa kolonial sampai dengan sekarang adalah sebagai berikut :
Masa Kolonial, Residen Belanda di Jambi adalah :
  1. O.L. Helfrich (1906-1908)
  2. A.J.N Engelemberg (1908-1910)
  3. Th. A.L. Heyting (1910-1913)
  4. AL. Kamerling (1913-1915)
  5. H.E.C. Quast (1915 – 1918)
  6. H.L.C Petri (1918-1923)
  7. C. Poortman (1923-1925)
  8. G.J. Van Dongen (1925-1927)
  9. H.E.K Ezerman (1927-1928)
  10. J.R.F Verschoor Van Niesse (1928-1931)
  11. W.S. Teinbuch (1931-1933)
  12. Ph. J. Van der Meulen (1933-1936)
  13. M.J. Ruyschaver (1936-1940)
  14. Reuvers (1940-1942)
Tahun 1942 – 1945 Jepang masuk ke Indonesia termasuk Jambi

MASA KEMERDEKAAN REPUBLIK INDONESIA

Residen Jambi:
  1. Dr. Segaf Yahya (1945)
  2. R. Inu Kertapati (1945-1950)
  3. Bachsan (1950-1953)
  4. Hoesin Puang Limbaro (1953-1954)
  5. R. Sudono (1954-1955)
  6. Djamin Datuk Bagindo (1954-1957) - Acting Gubernur
6 Januari 1957 BKRD menyatakan Keresidenan Jambi menjadi Propinsi
8 Februari 1957 peresmian propinsi dan kantor gubernur di kediaman Residen oleh Ketua Dewan Banteng. Pembentukan propinsi diperkuat oleh Keputusan Dewan Menteri tanggal 1 Juli 1957, Undang-Undang Nomor 1 /1957 dan Undang-Undang Darurat Nomor 19/1957 dan mengganti Undang-Undang tersebut dengan Undang-Undang Nomor 61/1958.

MASA PROVINSI JAMBI

Gubernur Jambi:
  1. M. Joesoef Singedekane (1957-1967)
  2. H. Abdul Manap (Pejabat Gubernur 1967-1968)
  3. R.M. Noer Atmadibrata (1968-1974)
  4. Djamaluddin Tambunan, SH (1974-1979)
  5. Edy Sabara (Pejabat Gubernur 1979)
  6. Masjchun Sofwan, SH (1979-1989), Drs. H. Abdurrahman Sayoeti (Wakil Gubernur)
  7. Drs. H. Abdurrahman Sayoeti (1989-1999), Musa (Wakil Gubernur), Drs. Hasip Kalimudin Syam (Wakil Gubernur)
  8. DRS. H. Zulkifli Nurdin, MBA (1999-2005), Uteng Suryadiatna (Wakil Gubernur), Drs. Hasip Kalimudin Syam (Wakil Gubernur)
  9. DR.Ir. H. Sudarsono H, SH, MA (Pejabat Gubernur 2005)

Tanjung Jabung Barat

SEJARAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG BARAT 


 
 
Sebelum abad ke-17 di Tanah Tungkal ini sudah berpenghuni seperti Merlung, Tanjung Paku, Suban yang sudah dipimpin oleh seorang Demong, jauh sebelum datangnya rombongan 199 orang dari Pariang Padang Panjang yang dipimpin oleh Datuk Andiko dan sebelum masuknya utusan Raja Johor.
Kemudian memasuki abad ke-17 ketika itu daerah ini masih disebut Tungkal saja, daerah ini dikuasai atau dibawah Pemerintahan Raja Johor. Dimana yang menjadi wakil Raja Johor di daerah ini pada waktu itu adalah Orang Kayo Depati. Setelah lama memerintah Ornag Kayo Depati pulang ke Johor dan ia digantikan oleh Orang Kayo Syahbandar yang berkedudukan di Lubuk Petai. Setelah Orang Kayo Syahbandar kemudian diganti lagi oleh Orang Kayo Ario Santiko yang berkedudukan di Tanjung Agung (Lubuk petai) dan Datuk Bandar Dayah yang berkedudukan di Batu Ampar, daerahnya meliputi Tanjung rengas sampai ke Hilir Kuala Tungkal atau Tungkal Ilir sekarang.
Memasuki abad ke- 18 atau sekitar tahun 1841-1855 Tungkal dikuasai dan dibawah Pemerintahan Sultan Jambi yaitu Sultan Abdul Rahman Nasaruddin. Pada saat itu kesultanan Jambi mengirim seorang Pangeran yang bernama Pangeran Badik Uzaman ke Tungkal yaitu Tungka Ulu sekarang Kedatangannya disambut baik oleh orang Kayo Ario Santiko dan Datuk Bandar Dayah.
Setelah terbukanya Kota Kuala Tungkal maka semakin banyak orang mulai datang, sekitar tahun 1902 dari suku Banjar yang berimigrasi dari Pulau Kalimantan melalui Malaysia. Mereka ini berjumlah 16 orang antara lain : H.Abdul Rasyid, Hasan, Si Tamin gelar Pak Awang, Pak Jenang, Belacan Gelar Kucir, Buaji dan kemudian mereka ini berdatangan lagi dengan jumlah agak lebih besar yaitu 56 orang yang dipimpin oleh Haji Anuari dan iparnya Haji Baharuddin, Rombongan 56 orang ini banyak menetap di Bram Itam Kanan dan Bram Itam Kiri. Selanjutnya datang lagi dari suku Bugis, Jawa, Suku Donok atau Suku Laut yang banyak hidup dipantai/laut, dan Cina serta India yang datang untuk berdagang .
Pada tahun 1901 kerajaan Jambi takluk keseluruhannya kepada Pemerintahan Belanda termasuk Tanah Tungkal khususnya di Tungkal Ulu yang Konteleir jenderalnya berkedudukan di Pematang Pauh. Sehingga pecahlah perperangan antara masyarakat Tungkal Ulu dan Merlung dengan Belanda. Karena mendapat serangan yang cukup berat akhirnya pemerintah Belanda mengundurkan diri dan hengkang dari wilayah itu. Perperangan itu dipimpin oleh Raden Usman anak dari Badik Uzaman. Raden Usman kemudian wafat dan dimakamkan di Pelabuhan Dagang.
Selanjutnya muncullah Pemerintahan Kerajaan Lubuk Petai yang dipimpin oleh Orang Kayo Usman dan Lubuk Petai kemudian membentuk pemerintahan baru. Pada waktu itu dibentuklah oleh H.Muhammad Dahlan Orang Kayo yang pertama dalam penyusunan pemerintahan yang baru.
Orang Kayo pertama ini pada waktu itu masih diintip dan diserang oleh rombongan dari Jambi. Ia diserang dan ditembak dirumahnya lalu patah. Maka bernamalah pemerintahan itu dengan Pemerintahan Pesirah Patah sampai zaman kemerdekaan. Dusun-dusun pada pemerintahan Pesirah Patah dan asal mula namanya adalah :
Ø Dusun Lubuk Kambing tadinya berasal dari Benaluh dan Lingkis.
Ø Dusun Sungai Rotan tadinya berasal dari Dusun Timong dalam.
Ø Dusun Ranatu Benar tadinya berasal dari Riak Runai dan Air dan Air Talun.
Ø Dusun Pulau Pauh tadinya berasal dari Kampung Jelmu pulau Embacang.
Ø Dusun Penyambungan dan Lubuk Terap berasal dari Suku Teberau.
Ø


Dusun Merlung tadinya berasal dari suku Pulau Ringan yang dibagi lagi dalam beberapa suku yaitu : Pulau Ringan, Kebon Tengah, Langkat, Aur Duri, Kuburan Panjang, Gemuruh, dan Teluk yang tunduk dengan Demong.
Ø Dusun Tanjung Paku tadinya berasal dari Tangga Larik.
Ø Dusun Rantau Badak tadinya berasal dari Dusun Lubuk Lalang dan Tanjung Kemang.
Ø Dusun Mudo tadinya Talang Tungkal dan Lubuk Petai.
Ø Dusun Kuala Dasal yang pada waktu itu belum lahir adalah dusun Pecang Belango.
Ø Dusun Badang tadinya berasal dari Badang Lepang di dalam.
Ø Dusun Tanjung Tayas tadinya berasal dari Bumbung.
Ø Dusun Pematang Pauh.
Ø Dusun Batu Ampar yang sekarang menjadi Pelabuhan Dagang.
Ø

Dusun Taman Raja tadinya bernama Pekan atau pasar dari kerajaan Lubuk Petai. Kemudian disebut Taman Raja karena dulunya merupakan tempat pertemuan dan musyawarah Raja Lubuk Petai dan Raja Gagak.
Ø Dusun Suban tadinya berasal dari Suban Dalam.
Ø Dusun Lubuk Bernai tadinya Tanjung Getting dan Lubuk Lawas.
Ø Dusun Kampung Baru.
Ø Dusun Tanjung Bojo.
Ø Dusun Kebun.
Ø Dusun Tebing Tinggi.
Ø Dusun Teluk Ketapang.
Ø Dusun Senyerang.
   
 
Marga Tungkal Ulu :
-
Pasirah MT.Pahruddin (195 Zaman pemerintahan Orang Kayo H. Muhammad Dahlan berakhir sampai sekitar tahun 1949, kemudian barulah gelar Orang Kayo berubah menjadi Pasirah sekitar tahun 1951. Sebelum Kabupaten Dati II Tanjung Jabung terbentuk, berada dalam Kewedanaan Tungkal yang memimpin beberapa Pasirah. Adapun para Pasirah di Tanah Tungkal ini dahulunya adalah :1-1953)
- Pasirah Daeng Ahmad anak dari H.Dahlan (1953-1959)
- Pasirah Zikwan Tayeb (1959-1967)
  1969 masa transisi perubahan marga
- Syafei Manturidi (1969-1973)
- Adnan Makruf (1974-1982)
   
Marga Tungkal Ilir :
- Raden Syamsuddin (Pemaraf)
- M.Jamin
- Pasirah H. Berahim
- Pasirah Ahmad
- Pasirah Asmuni
- Pasirah H.M.Taher
   
Seiring bergulirnya perkembangan zaman berdasarkan keputusan Komite Nasional Indonsia (KNI) untuk Pulau Sumatera di Kota Bukit Tinggi (Sumbar) pada tahun 1946 tanggal 15 April 1946, maka pulau Sumatera di bagi menjadi 3 (tiga) Provinsi, yaitu Provinsi Sumatera Tengah, Provinsi Sumatera Utara dan Provinsi Sumatera Selatan. Pada waktu itu Daerah Keresidenan Jambi terdiri dari Batanghari dan Sarolangun Bangko, tergabung dalam Provinsi Sumatera Tengah yang dikukuhkan dengan undang - undang darurat Nomor 19 Tahun 1957, kemudian dengan terbitnya undang - undang Nomor 61 Tahun 1958 pada tanggal 6 januari 1958 Keresidenan Jambi menjadi Provinsi Tingkat I Jambi yang terdiri dari : Kabupaten Batanghari, Kabupaten Sarolangun Bangko dan Kabupaten Kerinci.
   
Pada tahun 1965 wilayah Kabupaten Batanghari dipecah menjadi 2 (dua) bagian yaitu : Kabupaten Dati II Batanghari dengan Ibukota Kenaliasam, Kabupaten Dati II Tanjung Jabung dengan Ibukotanya Kuala Tungkal. Kabupaten Dati II Tanjung Jabung diresmikan menjadi daerah kabupaten pada tanggal 10 Agustus 1965 yang dikukuhkan dengan Undang - Undang Nomor 7 Tahun 1965 (Lembaran Negara Nomor 50 Tahun 1965), yang terdiri dari Kecamatan Tungkal Ulu, Kecamatan Tungkal Ilir dan kecamatan Muara Sabak.
   
Setelah memasuki usianya yang ke-34 dan seiring dengan bergulirnya Era Desentralisasi Daerah, dimana daerah di beri wewenang dan keleluasaan untuk mengurus rumah tangganya sendiri, maka kabupaten Tanjung Jabung sesuai dengan Undang-undang Nomor 54 Tanggal 4 Oktober 1999 tentang pemekaran wilayah kabupaten dalam Provinsi Jambi telah memekarkan diri menjadi dua wilayah yaitu :
1. Kabupaten Tanjung Jabung Barat Sebagai Kabupaten Induk dengan Ibukota Kuala Tungkal
2.
Kabupaten Tanjung Jabung Timur Sebagai Kabupaten hasil pemekaran dengan Ibukota Pangkalan Bulian.

Kabupaten Muaro Jambi dibentuk berdasarkan Undang-undang Nomor 54 Tahun 1999 sebagai pemekaran dari Kabupaten Batang Hari dan secara defacto kegiatan pemerintahan efektif berjalan terhitung tanggal 12 Oktober 1999 bersamaan dengan pelantikan pejabat Bupati sementara menjelang ditetapkannya pejabat Bupati Defenitif,  dengan pusat pemerintahan berada di "Sengeti" Kecamatan Sekernan berjarak 38 KM dari Kota Jambi.

Wilayah Kabupaten Muaro Jambi meliputi eks wilayah administrasi pembantu Bupati batang Hari Wilayah Timur, yang meluputi enam Kecamatan, dan sampai sekarang berkembang menjadi sebelas Kecamatan yaitu :
  1. Kecamatan Sekernan
  2. Kecamatan Maro Sebo
  3. Kecamatan Jaluko
  4. Kecamatan Kumpeh
  5. Kecamatan Kumpeh Ulu
  6. Kecamatan Mestong
  7. Kecamatan Sungai Bahar
  8. Kecamatan Sungai Gelam
  9. Kecamatan Bahar Utara
  10. Kecamatan Bahar Selatan
  11. Kecamatan Taman Rajo
dengan luas wilayah 5.246 KM

Secara Geografis Wilayah Kabupaten Muaro Jambi berada pada posisi strategis karena disamping merupakan hiferland kota Jambi, juga merupakan center point pertemuan lintas timur dan penghubung lintas barat Sumatera, posisi ini sangat menguntungkan secara ekonomis karena akan memacu pertumbuhan perekonomian daerah.

Kabupaten Muarojambi Merupakan daerah penyangga dimana wilayahnya mengelilingi kota Jambi, hal ini berpengaruh terhadap penyebaran Konsentrasi penduduk yang umumnya berdomisili di sekitar pinggiran kota, Serta pusat-pusat pemukiman transmigrasi yang banyak terdapat di wilayah ini.

Data terakhir dari BPS ( Badan Pusat Statistik), sebagai berikut:



NO

KECAMATAN

JUMLAH JIWA

KEPADATAN (Km)

RT
1
Mestong
34.766
75.26
9.861
2
Sungai Bahar
50.359
81.42
15.358
3
Kumpeh Ulu
36.450
89.81
6.658
4
Sungai Gelam
47.726
75.88
10.782
5
Kumpeh
24.271
14.46
11.382
6
Maro Sebo
30.583
51.07
6.789
7
Jaluko
53.552
159.80
12.976
8
Sekernan
36.891
71.25
13.233
9
Sungai Bahar Utara
-
-
-
10
Sungai Bahar Selatan
-
-
-
11
Taman Rajo
-
-
-
Jumlah
314.598
59.97
87.039






















Keterangan
   
Jumlah Penduduk        :  341.598 Jiwa
Kepadatan                  :  59.97 Jiwa / Km2
Jumlah Rumah Tangga  :  87.039

    Kecamatan dengan populasi terpadat adalah kecamatan Jambi Luar Kota sebanyak 53.552 dengan kepadatan rata-rata 159.80 Jiwa/ Km2, sedangkan kecamatan terendah adalah Kumpeh sebanyak 24.271 Jiwa dengan kepadatan 14.46 Jiwa/ Km2.

Kabupaten Bungo

  1. Kabupaten Bungo terletak di bagian Barat Propinsi Jambi dengan luas wilayah sekitar 7.160 km2. Wilayah ini secara geografis terletak pada posisi 101º 27’ sampai dengan 102º 30’ Bujur Timur dan di antara 1º 08’ hingga 1º 55’ Lintang Selatan.
  2. Berdasarkan letak geografisnya Kabupaten Bungo berbatasan dengan Kabupaten Tebo dan Kabupaten Darmasraya di sebelah Utara, Kabupaten Tebo di sebelah Timur, Kabupaten Merangin di sebelah Selatan, dan Kabupaten Kerinci di sebelah Barat.
  3. >Wilayah Kabupaten Bungo secara umum adalah berupa daerah perbukitan dengan ketinggian berkisar antara 70 hingga 1300 M dpl, di mana sekitar 87,70 persen di antaranya berada pada rentang ketinggian 70 hingga 499 M dpl. Sebagian besar wilayah Kabupaten Bungo berada pada Sub Daerah Aliran Sungai (Sub-Das) Sungai Batang Tebo. Secara geomorfologis wilayah Kabupaten Bungo merupakan daerah aliran yang memiliki kemiringan berkisar antara 0 – 8 persen (92,28 persen).
  4. Sebagaimana umumnya wilayah lainnya di Indonesia, wilayah Kabupaten Bungo tergolong beriklim tropis dengan temperatur udara berkisar antara 25,8° - 26,7° C.Curah hujan di Kabupaten Bungo selama tahun 2004 berada di atas rata-rata lima tahun terakhir yakni sejumlah 2398,3 mm dengan jumlah hari hujan sebanyak 176 hari atau rata rata 15 hari per bulan dan rata rata curah hujan mendekati 200 mm per bulan
Secara administratif, Kabupaten Bungo yang berpenduduk 381.221 jiwa (akhir tahun 2005), terdiri dari 17 kecamatan yang meliputi 13 kelurahan dan 124 desa. Kecamatan-kecamatan tersebut adalah Pasar Muara Bungo, Rimbo Tengah, Bungo Dani, Bathin III, Tanah Tumbuh, Rantau Pandan, Jujuhan, Tanah Sepenggal, Limbur Lubuk Mengkuang, Pelepat Ilir, Muko-Muko Bathin VII, Bathin II Babeko, Tanah Sepenggal Lintas, Jujuhan Ilir, Bathin III Ulu dan Bathin II Pelayang.

Kabupaten Merangin

Nama Resmi :Kabupaten Merangin
Ibukota :Bangko
Provinsi :Jambi
Batas Wilayah:Utara: Kabupaten BungoSelatan: Kabupaten Rejang Lebong dan provinsi BengkuluBarat: Kabupaten KerinciTimur: Kabupaten Sarolangun
Luas Wilayah:7.679,00 km²
Jumlah Penduduk:330.468 Jiwa
Jumlah Kecamatan:Kecamatan : 24, Kelurahan : 10, Desa : 204
Website:http://www.meranginkab.go.id

( Permendagri No.66 Tahun 2011 )
 
 

Sejarah

Berdasarkan Keputusan Sidang Komite Nasional Indonesia (K.N.I) Sumatera di Bukit Tinggi pada tahun 1946 ditetapkan bahwa Pulau Sumatera dibagi menjadi tiga sub Propinsi, yaitu : Sub Propinsi Sumatera Utara, Sub Propinsi Sumatera Tengah, Sub Propinsi Sumatera Selatan.
Kemudian dengan UU Nomor 10 tahun 1946 sub propinsi tersebut ditetapkan menjadi propinsi, dimana daerah Kresidenan Jambi yang terdiri dari Kabupaten Batang Hari, dan kabupaten Merangin tergabung dalam Propinsi Sumatera Tengah.

Dengan Undang-Undang Darurat Nomor 19 tahun 1957 yang kemudian diubah menjadi Undang-Undang Nomor 18 tahun 1958, dibentuklah Propinsi Daerah Tingkat I Jambi yang terdiri dari :
- Kabupaten Batang Hari
- Kabupaten Merangin
- Kabupaten Kerinci
Dalam perjalanan sejarah, dengan dibentuknya Propinsi Daerah Tingkat I Jambi, yang sekaligus juga dibentuknya Kabupaten Merangin (wilayahnya saat ini adalah Kabupaten Merangin, Kabupaten Sarolangun, Kabupaten Bungo Tebo) yang beribukota di Bangko. Kemudian ibukota Kabupaten Merangin dipindahkan ke Muara Bungo yang diputuskan melalui sidang DPRD.

Selanjutnya, dengan adanya gerakan PRRI tahun 1958 Kantor Bupati Merangin di bakar dan dibangun kembali pada tahun 1965 sebagai persiapan Kantor Bupati Sarolangun Bangko. Setelah berdirinya Kabupaten Sarolangun Bangko melalui UU No. 7 tahun 1965, maka pusat pemerintahan ditempatkan di Bangko dan juga menempati bangunan tersebut. Setelah itu pindah ke Kantor yang baru di jalan Jendral Sudirman Km2, sedangkan kantor lama menjadi Kantor Dinas Pendapatan Daerah Tingkat II.

Dengan adanya pemekaran wilayah sesuai dengan UU No. 54 tahun 1999 tentang pembentukan Kabupaten Merangin, Kabupaten Sarolangun, Kabupaten Tebo dan Kabupaten Tanjung Jabung Timur, maka wilayah Kabupaten Sarolangun Bangko dimekarkan menjadi dua yaitu Kabupaten Sarolangun dan Kabupaten Merangin. Kabupaten Sarolangun beribukota di Sarolangun dan Kabupaten Merangin beribukota di Bangko.
Dasar pembentukan wilayah Kabupaten Merangin adalah Undang-undang Nomor 54 tahun 1999 tentang pembentukan Kabupaten Sarolangun, Kabupaten Tebo, Kabupaten Muara Jambi dan Kabupaten Tanjung Jabung Timur (LN tahun 1999 Nomor 182, TLN Nomor 39030). Kabupaten Merangin merupakan Pengembangan dari Kabupaten Sarolangun Bangko dan hari jadinya tanggal 5 Agustus 1965.

Arti Logo

  1. Warna merah melekat pada lis pinggir Lambang Daerah yang bersegi limamelambangkan keberanian.
  2. Warna biru terdapat pada dasar lambang daerah : melambangkan ketenteraman dan ketenangan.
  3. Warna biru laut terdapat pada gunung dan bukit : melambangkan kesuburan dan kemakmuran.
  4. Warna hijau daun terdapat pada kelopak bunga kapas : melambangkan kesejahteraan.
  5. Warna kuning emas dan kuning tua terdapat pada rantai, padim dinding rumah adat dan gong melambangkan keuangan dan kejayaan.
  6. Warna putih dan putih perak terdapat pada seloko, mata pedang, mangkok sadapan karet, kubah mesjid, selubung cerano, bunga kapas dan mata gong : melambangkan kesucian.
  7. Warna coklat terdapat pada pohon karet dan kaki cerano : melambangkan kemakmuran.
  8. Warna merah kuning terdapat pada batu bata 2 tingkat : melambangkan kondisi tanah yang ada di kabupaten Merangin 11,52% berwarna merah kuning (padsolid).