Sabtu, 21 April 2012

Belajar Public Relations Berbagai Kasus, Krisis Jadi Berkah?


Masih berlakukah arogansi organisasi di era keterbukaan social media? Harus berapa kasus lagi untuk membuktikan bahwa arogansi public relations bisa menjadi boomerang? Di mana peran PR (Public Relations) Citibank dengan 2 kasusnya baru-baru ini?
Kasus yang menimpa Prita Mulyasari dengan Rumah Sakit Omni jadi pelajaran penting bagi organisasi untuk tidak arogan. Seandainya RS Omni tidak mempertahankan tuntutan di saat masyarakat kontra, mungkin kasusnya tidak melebar. Berada di posisi Omni saat itu memang tidak mudah, di antara pembelaan diri dari nama buruk akibat tuduhan pasien yang mungkin saja tidak 100 % kebenarannya, dan tuntutan pelayanan serta empati terhadap pasien. Yang diinginkan masyarakat saat itu adalah jalan kekeluargaan dan permintaan maaf. Sikap humble untuk menggantikan arogansi.

Contoh lain adalah kasus brand wafer yang sempat mengucapkan hal yang tidak etik bagi brand di status facebook fanpagenya. Berita kesalahannya semakin meluas, justru karena admin, yang notabene online Public Relations-nya, tidak meminta maaf atas kesalahan status updatesnya tetapi hanya menghapus dan memberikan statement di media massa bahwa ada pihak yang meng-hack akunnya. Statement ini membuat heboh, karena onliners tidak mempercayainya, yang mereka inginkan adalah permintaan maaf kepada masyarakat. Sedangkan untuk kesalahannya, saya yakin masyarakat Indonesia/onliners dapat memaafkan bila ada sikap humble. Contohnya yang terjadi pada salah satu brand franchise kuliner.
Beberapa bulan yang lalu salah satu franchise kuliner mengalami kesalahan debet pada kartu debet pelanggannya. Jadi misalnya harga yang semestinya hanya puluhan ribu, ternyata kasir melakukan kesalahan mendebet hingga ratusan ribu (kelebihan 1 digit 0). Dengan segera brand itu mencantumkan permintaan maaf di tab facebook fanpagenya. Dan apakah beritanya jadi heboh? Tidak! Seandainya saya bertanya kepada pembaca tentang brandnya, mungkin sedikit saja yang mengetahui beritanya karena tidak menyebar, karena dengan permintaan maaf itu masyarakat kita akan lebih respect.
Kasus Singapore Airlines (SAL) dan Garuda Indonesia (GA) bisa jadi contoh bagus, bagaimana musibah yang sempat mencoreng nama, justru berbalik jadi citra positif bila public relationsnya dikemas dengan tepat.
Dalam kasus SAL yang tergelincir dan mendarat di bandara Hong Kong, President Director-nya tampil ke public menyatakan permintaan maaf kepada keluarga penumpang. Sekaligus menjelaskan langkah-langkah yang sedang dan akan diambil. Sama juga dengan langkah yang diambil GA saat pesawatnya mendarat di Solo beberapa waktu lalu, di mana President Directornya juga maju untuk memberikan statement. Dua peristiwa ini justru mengangkat citra pilotnya yang cepat mengambil tindakan dan mampu menguasai pendaratan dalam keadaan darurat.
Bagaimana dengan Citibank yang baru-baru ini mengalami dua musibah beruntun yang mencoreng citranya?
Yang pertama adalah kasus tewasnya nasabah di kantor Citibank akibat dianiaya oleh debt collector yang dioutsource Citibank. Permasalahannya, bukan siapa yang membunuh, tetapi kabarnya itu terjadi di kantor Citibank, yang berarti merusak reputasi bank besar ini dari 2 sisi, keselamatan nasabah dan kebijakan outsource untuk debt collector (yang juga dilakukan oleh bank lain). Kasus kedua adalah penggelapan uang nasabah yang dilakukan oleh mantan karyawan, tak lain adalah Melinda Dee.
Pada kasus Melinda Dee, memang Citibank tidak sepenuhnya salah, karena persoalannya bermuara antara Melinda Dee dan nasabahnya. Customer Representative dan teller yang bermasalah dalam perpindahan sejumlah rekening nasabah ke rekening perusahaan Melinda. Ini terjadi juga di banyak bank lain. Namun, image SDM Citibank tetaplah kena akibatnya, apalagi bank berbasis kepercayaan. Diperlukan kampanye internal sebagai perbaikan dan eksternal untuk pemulihan kepercayaan. Tetapi kasus ini juga menjadi pelajaran cantik untuk kita semua sebagai nasabah agar lebih teliti juga.


Dalam kasus tewasnya nasabah, tampaknya Citibank melakukan aksi reaktif untuk krisis yang terjadi, seperti umumnya Public Relations yang menyiapkan standby statement dan hanya menjawab jika ada media yang bertanya. Itupun terkesan tidak terbuka. Statement yang diungkapkan oleh juru bicaranya berupa statement umum, seperti ‘diserahkan ke pihak kepolisian’ atau ‘tunggu proses hukum’. Bahkan statement sudah dilakukan permintaan maaf kepada keluarga korban pun sempat dibantah media.
Sementara yang publik inginkan adalah gambaran kronologis mengapa hal itu dapat terjadi masih ditutup rapat. Apa kebijakan manajemen terhadap jasa debt collector, kronologi, dan juga permintaan maaf secara resmi dari perusahaan, tidak dijelaskan dengan segera, sehingga terjadi kesimpang siuran berita, sementara kematian adalah masalah serius. Bagaimana bila terjadi di perusahaan tambang dan penerbangan? Pasti menjadi perhatian besar.

Sebenarnya kasus tewasnya nasabah ini juga akan bermuara ke Bank Indonesia selaku pengawas perbankan Indonesia, di mana peraturan perlindungan nasabah tidak diaplikasikan sebagaimana mestinya.
Seperti yang dilakukan SAL dan GA, situasi krisis adalah tantangan di mana Public Relations dapat memanfaatkannya untuk arena ‘bermain’ menunjukkan giginya, karena di sinilah Public Relations tampil. Di sinilah masyarakat melihat jelas fungsi PR dan manajemen krisisnya.
Di saat situasi semacam inilah kita akan melihat, apakah organisasi memberi jawaban normatif,  defensif, reaktif atau terbuka terhadap kasus. Melakukan permintaan maaf dan mengumumkan bentuk pertanggungjawaban atau memberikan solusi. Bila tidak, maka akan memperburuk citranya. Namun PR juga tidak boleh panic dan tergesa-gesa. Dalam manajemen krisis, statement adalah bagian penting dari strategi, dan haruslah konsisten dengan tindakan. Dalam situasi darurat, membuat masyarakat dan media menunggu adalah kesalahan besar, tetapi memberi statement tanpa data dan informasi akurat akan lebih berbahaya lagi.
Citibank memang perusahaan besar dengan reputasi istimewa. Image ini sudah terbangun lama, bukan instant. Namun, image juga tidaklah stagnan, harus dievalusai, dikoreksi, dan diinovasi, bukan? Dua kasus Citibank ini adalah pelajaran penting bagi organisasi untuk tidak selalu arogan, merasa punya sistem terbaik, dan hidup di zona nyaman.

0 komentar:

Posting Komentar